Perjalanan darat dari Surabaya ke Jogjakarta ditempuh dalam waktu 8 jam. Jumat (21/10) pukul 5 pagi, saya sampai di Jogjakarta. Pagi itu juga kami berempat segera mencari jalan Malioboro letak Hotel Inna Garuda. Maklum karena tak satupun dari kami yang tahu seluk-beluk kota Jogjakarta, sehingga dengan mengandalkan papan jalan dan peta digital berbasis GPS dari handphone akhirnya kami sampai juga di jalan Malioboro.
Bintang David (Courtesy of www.sxc.hu)
Bintang David pada Tugu Jogja (courtesy of www.moreindonesia.com)
Perbandingan 2 arsitektur Tugu Jogja (Courtesy of www.moreindonesia.com)
Hasil penelusuran saya juga menemukan sebuah blog yang membahas sejarah perubahan bentuk tugu tersebut. kalau Tugu Golong Gilig yang dibangun pada 1756 itu tingginya 25 meter, dibangun oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono I sebagai pendiri Kasultanan Jogjakarta setelah pecahnya Kerajaan Mataram Islam menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta pada perjanjian Giyanti 1755.
Perubahan bentuk tugu dengan mencantumkan Bintang David pada bagian tengah tugu tersebut ternyata terjadi saat renovasi tugu yang dilakukan oleh JWS van Brussel selaku kepala pekerjaan umum Kolonial Belanda (Opzichter van Waterstaat). Tugu tersebut kemudian disebut De Witte Paal (Tugu Putih). Tidak jelas maknanya apakah karena tugunya diberi warna putih, atau hal tersebut sebagai tanda hegemoni orang kulit putih (Kolonial Belanda) di Jogjakarta.
Yang jelas rasa penasaran saya terjawab. Tugu dengan simbol bukan asli Jawa tersebut hasil arsitektur dan ‘perbuatan’ Kolonial Belanda yang memang banyak meninggalkan jejak Bintang David, Illuminasi, Brotherhood of Snake, dan berbagai simbol yang berhubungan dengan kaum Zionis. Ditengarai memang ada cukup banyak orang Yahudi yang menjadi warga negara Belanda dan menjadi bagian dari orang-orang Kolonial Belanda.
Kapan Sri Sultan Hamengkubuwono X akan menghapus jejak Zionis tersebut dari Jogja? Tidakkah lebih baik bentuk tugu dikembalikan pada bentuk dan filosofi Tugu Golong Gilig? Ah saya sih bukan warga Jogja. Terserah derek-derek sedoyo Wong Jogja saja deh
Choiron