Setelah menempuh jarak beberapa kilometer , sampailah kami di sebuah pelataran luas, yang belakangan saya lihat seperti area plaza. Di tengah-tengah plaza terdapat patung perunggu berupa tiga sosok tangan yang mencuat dari bumi mengepal dan terbuka. Bagian tepi area plaza dilengkapi dengan tiang-tiang beton berujud bamboo runcing.
Saya sangat geram melihat dinding-dinding monumen dan tiang bamboo runcing di area plaza dikotori oleh coretan-coretan iseng yang tentunya dilakukan oleh remaja-remaja berandalan tanpa memperdulikan makna sejarah dan arti obyek wisata sejarah di kotanya..
Setelah memarkir mobil, kami berempat (dengan keluarga adik yang tinggal di Karawang) menuju ke area kecil berpagar yang berisi tugu dan dinding relief sebagai latar belakangnaya. Seorang pemuda tergopoh-gopoh bergegas membuka gembok yang mengikat rantai di pintu masuk area monumen. Pemuda tersebut ternyata adalah juru kunci sekaligus guide di lokasi bersejarah Rengasdengklok, namanya: Idris. Idris mengaku sebagai cucu dari seorang pejuang yang bernama Matroji, teman dari Djiauw Kie Song.
Idris selanjutnya bercerita tentang riwayat monumen berpagar tersebut yang dahulu merupakan markas PETA. Saya sempat kebingungan juga oleh kisah yang diceritakan oleh Idris. Tanpa memberi kesempatan saya untuk bertanya satupun ‘pertanyaan’, Idris langsung memberikan penjelasan panjang lebar seakan-akan saya sudah tahu banyak tentang riwayat ‘penculikan’ Bung Karno dan Bung Hatta menjelang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Saya selanjutnya diajak ke rumah seorang warga Tionghoa yang dulu telah meminjamkan rumahnya sebagai tempat ‘menyembunyikan’ Bung Karno dan Bung Hatta sebagai langkah para pemuda pejuang yang saat itu ingin agar proklamasi segera dilaksanakan secepatnya. Menurut keterangan Idris, rumah warga Tionghoa bernama Djiauw Kie Song yang bersejarah itu telah hilang, akibat tergenang aliran sungai Citarum yang alirannya berubah, pada tahun 1957. Adapun rumah yang ada sekarang adalah rumah baru yang dibangun untuk tempat hunian Djiauw Kie Song dan anak-anak keturunannya sekaligus sebagai tempat penyimpanan benda-benda bersejarah yang dulu digunakan oleh Bung Karno dan Bung Hatta berunding dengan para pemuda.
Ketika saya mendatangi rumah Djiauw Kie Song, jam 16.00, keluarga besar keturunan Djiauw hendak pergi mengantar anggota keluarganya yang akan menikah, sehingga kami tidak dapat masuk ke dalam rumah yang menurut keterangan Idris disimpan foto-foto perjuangan dan beberapa furniture yang dulu digunakan.
Setelah selesai berfoto-foto, saya meminta Idris mengantar ke bekas rumah Djiauw. Ternyata rumah Djiauw masih terlihat bekasnya, meskipun hanya seonggok batu (mungkin pondasi) yang menyembul di atas permukaan air sungai Citarum, beberapa meter di belakang monumen ‘Kebulatan Tekad’ yang sebelumnya kami datangi.
Saat saya meninggalkan lokasi Monumen Proklamasi, terpikir di benak saya: ternyata Karawang yang dulu terkenal sebagai lumbung beras, juga menyimpan semangat nasionalisme dan patriotisme yang sangat besar. Selama ini yang saya kenal sebagai kota perjuangan hanyalah kota-kota besar di Jawa, seperti Jogja, Semarang, Ambarawa, Surabaya, dan Bandung, karena kisah-kisah besar yang melingkupinya, ternyata sedikit tersisih oleh kesederhanaan tempat bersejarah di Karawang yang dalam kisahnya telah memungkinkan kita dapat mewujudkan Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945, yang telah mengubah nasib bangsa Indonesia selama-lamanya.24 Oktober 2011.