RA. Kartini Mengritik Poligami, Haditsnya Aneh dan Salah


131960622530069240

dok. pribadi from mbah google.com

Salah Tapi Menarik !

Raden Ajeng Kartini beragama Islam. Dia memahami Islam dari guru ngaji, ayah, dan dari buku-buku Islam berbahasa Jawa-Pego [1]). Kartini mengakui dalam salah satu suratnya (Armijn Pane, 173 ; 1968) belajar agama Islam dari buku-buku yang berbahasa pego. Karena keterbatasan sarana pembelajaran agama Islam dan keterbatasan gerak gadis Jawa waktu itu, maka ditemukan tulisan-tulisan Kartini tentang Islam sangat terbatas sekali. Keterbatasan Kartini memahami Islam terlihat dalam ungkapan-ungkapannya tentang poligami, tauhid, atau hubungan sosial kemasyarakatan. Artinya ada beberapa pemahaman yang harus direvisi agar tidak menimbulkan kesalahpahaman sara dari surat-surat Kartini di kemudian hari.


Ada dua pemikiran Kartini mengutip hadis yang kurang benar. Dua pemikiran itu masuk wilayah “kurang benar” dan masuk wilayah “benar” menurut tujuan dan fungsinya. Tujuan dan fungsi masih dalam kerangka gugatannya melepaskan wanita dari aspek budaya yang menyudut peran wanita dalam hubungan sosial dan keluarga.


Kartini masih bersuara lantang menulis dampak poligami terhadap batin wanita. Wanita adalah mahluk yang punya hati. Wanita yang berperan sebagai ibu bukan “Dewi tolol” disangkar emas, (Idi Subandi – Hanif Suranto, 87 ; 1998), maksudnya keluarga. Wanita sangat menjerit ketika suaminya memasukkan wanita lain yang sah ke dalam rumahnya. Jerit batin itu sangat panas. Panasnya menguap dan membakar apa saja di sekitar wanita. Kartini mengambil contoh pembakaran dan dampak panasnya dengan mengutip hadis.


Hadis yang dimaksud menggambarkan jeritan batin wanita-wanita zaman dulu yang menjadi korban poligami, dengan pengibaratan panas yang bisa membakar siapa saja walau dia seorang putri Rasul, orang pandai, sarjana, bahkan profesor jika kebetulan wanita tetap merasakan dampak panasnya poligami.


Indah sekali pengibaratan Kartini dalam surat bulan Agustus (tanpa tanggal) tahun 1901 ditujukan kepada Nyonya Van Kol.


“…..Saya ini, seorang anak bangsa Jawa, menjadi besar di haribaan bangsa itu, selamanya tinggal hidup di situ, saya hendak menyatakan kepada Nyonya, bahwa perempuan Bumiputera sungguh-sungguh ada hatinya, sanggup merasa, menderita, tak ada ubahnya dengan hati perempuan di negeri Nyonya, yang beradab halus.


Tetapi pada orang di sini hanya tinggal menjadi penderitaan diam-diam saja dan menyerah semata-mata, tiada kuasa dan tiada berdaya, karena tiada berkepandaian dan berpengetahuan.


Hadis ada meriwayatkan: suami fatimah kawin sekali lagi, lalu ia ditanya Nabi, betapakah rasanya, “tiada apa-apa, Bapak, tiada !” jawabnya, lalu bersandarlah ia pada sebatang pohon pisang; daun pisang itu, yang mula-mulanya segar dan subur, menjadi layu dan batang tempat ia bersandar itu menjadi hangus.



Sekali lagi Bapaknya bertanya, betapa rasanya, dan sekali lagi jawabnya, “Tiada apa-apa, Bapak, tiada !”


Diberikan Bapaknya dia telur mentah, dimintanya letakkan pada dadanya. Kemudian diminta Nabi kembali, dikupasnya, rupanya telur itu telah masak !


Semenjak itupun hati perempuan Timur tiadalah berubah. Hikayat ini menjelaskan juga kepada kita, betapakah pikiran kebanyakkan perempuan tentang hak laki-laki yang kejam itu.


Banyak perempuan memandang kehormatanlah, bila tiada berubah air muka, dapat membiarkan suaminya beristri seorang dua lagi; tetapi janganlah ditanyakan, apa yang tersembunyi di balik topeng itu, dan apa yang disembunyikan dinding rumahnya bagi penglihatan duniua luar; perempuan yang makan hati, dan ruh anak yang menderita dengan tiada bersalah, sangatlah banyaknya.


Sekali lagi: amatlah banyaknya azab dan sengsara yang diderita dalam dunia perempuan Bumiputera. Dan kesedihan yang harus ditanggung itu pada masa saya masih anak-anak sudah saya ketahui, itulah yang pertama-tama menimbulkan dalam hati saya keinginan akan melawan kebiasaan turut-turutan (turun temurun - Pen), yang membuat seolah-olah segala keadaan yang lama itu benar dan adil adanya……..” (Armijn Pane, 114 ; 1968)


Surat ini sudah jelas isi dan maksudnya. Ketika Kartini menulis tidak menjadi masalah besar ketika menulis “hadis ada meriwayatkan…” artinya yang ditulisnya adalah hadis, karena dia juga tidak berpikir surat-suratnya akan di-ekspos sejak 1911 hingga sekarang [2]) oleh Penerbit milik Negara, Balai Pustaka. Jika Kartini menulis hadis, artinya ada tukilan (kutipan), ada riwayat, ada sanad, matan (lafaz hadis) yang jelas dan sumber-sumber periwayatan hadis sesuai keilmuan hadits, misal sesuai tata aturan dalam kitab Musthala’ah Hadis [3]). Dan Kartini menulisnya dengan bebas, sehingga diragukan apakah itu hadis atau bukan. Dalam drajat hadis disebut hadis mursal atau hadis bohong.



Kebebasan Kartini menulis surat diatas untuk menggambar jeritan hati wanita saja bukan hal yang salah jika harus menulis “ada hadis.” Namun sepengetahuan Penulis dalam Kitab-Kitab hadis klasik tidak ditemukan hadis yang menceritakan periwayatan di atas. Kalau dilihat dari matan terjemah hadis yang menceritakan ada ‘pohon pisang,’ tidak mungkin Nabi Saw mengambil contoh pohon pisang, karena di Mekkah atau Madinah waktu itu belum ada kebun pisang. (Di Jawa ma, banyak!) Demikian juga tentang kisah suami Fatimah ra. (Ali kw.) selama berumah tangga dengan Fatimah kw tidak ada riwayatpun menjelaskan Ali bin Abi Thalib menikah lagi.


Maka dari itu surat Kartini kepada Nyonya Van Kol bulan Agustus 1901 yang menyebut “hadis ada meriwayatkan” dan seterusnya, bukan hadis. Ini pengaruh dari Islam – Jawa Pegon.



Buku-buku Islam-Jawa yang ditulis dalam huruf pego sangat banyak sekali. Bukan tidak mungkin (letak kekeliruan itu) Kartini mengetahui “hadits ada meriwayatkan,’ dari gubahan buku-buku Islam-Jawa klasik yang ditulis dengan huruf Jawa-Pego. Para pejuang Islam di tanah Jawa lebih bijaksana menyampaikan nilai hikmah kepada masyarakat. Jika masyarakat Jawa kala itu, langsung diberi materi tekstual Islam berdasarkan Al Qur’an Hadis dan kitab-kitab salaf dari Timur-Tengah hasilnya semakin membingungkan, karena kadar pemahaman sufistik kejawen sudah menguasai alam pikiran dan perasaan masyarakat Jawa. Mereka tidak mungkin menerima Islam. Maka para pejuang Islam-Jawa langsung menyampaikan nilai hikmahnya saja. Seperti nilai hikmah disampaikan Kartini itu, untuk meng-ilustrasikan jeritan kaum wanita yang dimadu oleh pasangan mereka. Berupa ilustrasi pohon pisang yang dibuat sandaran wanita yang dimadu, pohon dan daunnya langsung kering. Dan tangan menggenggam telor langsung matang karena pengaruh hawa panas jeritan yang keluar dari hati wanita-wanita Jawa.



Lepas apakah hadis atau bukan, tujuan Kartini hanya memperjelas rasa terhimpit dan sakit yang dialami oleh “Dewi tolol” di sangkar emas kepada Nyonya Va Kol. — (tulisan ini bagian dari naskah buku penulis yang sudah ditransaksikan di Bali)





[1] ) Jawa Pego adalah huruf jawa kuna menggunakan abjad arab. Tata cara penulisan seperti penulisan huruf hijaiyah, misalnya kosa kata “ng” menggunakan huruf “ain” diberi titik tiga di atasnya. Huruf pego terkenal di kalangan masyarakat Jawa dalam berkomunikasi, khususnya agama Islam, kitab-kitab islam ditulis dengan huruf pego. Budaya bahasa ini menghasilkan pemahaman islam-jawa di kalangan masyarakat Jawa. Pesantrean satu-satunya lembaga pendidikan klasik agama Islam di tanah Jawa. Kitab-kitab asli berbahasa arab diterjemahkan (makna) dengan bahasa jawa-pego, terkenal dengan istilah “maknani.”

[2] ) Saya kemaren (2010) masih melihat ada buku “Habis Gelap Terbitlah Terang,” diterbitkan oleh Balai Pustaka Jakarta.

[3] ) Kitab Musthala’ah Hadis adalah kitab yang mempelajari validitas hadis untuk mengkaji atau mengtetahui derajat saheh dan tidaknya suatu hadis. Kitab ini biasanya dikaji di pesantren atau Universitas Islam / Sekolah Tinggi Islam
Fatih