Membaca Kembali Kasus G-30-S

Sore ini saya membaca edisi liputan Khusus Majalah Tempo yang berjudul “Pengakuan Algojo 1965″, yang terbit tanggal 1-7 Oktober 2012. Ketika terjadi peristiwa tersebut saya masih balita, tidak ingat sama sekali apa yang terjadi di sekitar tempat tinggal saya. Padahal saya tinggal di pinggiran ibu kota Jakarta saat itu yang masih sepi dan masih banyak persawahan, bahkan belum masuk aliran listrik. Kecuali lagu ‘genjer-genjer’ yang sering dinyanyikan sambil iseng oleh kawan-kawan bermain saya yang lebih tua, tidak ada rekaman ingatan mengenai hal-hal dan pernak-pernik kejadian yang sangat menghebohkan dan menyayat hati tersebut.
Tentu saja berbagai versi saya tahu kemudian, selain dari buku sekolah, juga dari cerita para orang tua di sekitar kampung saya tinggal. Diantara cerita yang mereka ceritakan antara lain adalah adanya ‘peringatan’ alarm setiap malam yang tidak memperbolehkan  keluar bagi warga penduduk karena akan adanya sesuatu. Kejadian ini konon kata mereka dijadikan alasan oleh PKI untuk memobilisasi senjata-senjata yang akan dibagikan kepada pendukung dan simpatisannya. Jadi, isue tersebut sengaja diciptakan oleh PKI untuk menyebarluaskan senjata kepada rakyat pendukungnya.
Selain itu, PKI juga katanya telah mendata orang-orang Islam, khususnya para kiayi dan tokoh agama yang akan dijadikan target pembunuhan. Bahkan sudah disediakan lobang-lobang untuk memendam mayat mereka. Bahkan dari berbagai cerita itu, pesantren-pesantren di berbagai kawasan di pulau Jawa, khusunya jawa Timur, Jombang dan sekitarnya, para kiayi dan ulama sudah dicatat nama-nama mereka untuk dibantai dengan lobang yang sudah siap di sekitar kawasan pesantren. Tentu saja kisah ini saya dengar dari ustaz yang memang pernah nyantri disana.
Tentu saja informasi yang kemudian mengendap di benak kita adalah apa yang dijadikan bahan literatur bacaan wajib sekolah resmi versi pemerintah Orde Baru, yang memang  sangat ketat disensor, apalagi mengenai gerakan PKI dan tokoh-tokohnya.
Walau belum selesai saya membaca “Tempo” namun memang Tempo menceritakan melalui sumber-sumbernya secara sepihak yaitu algojo-algojo yang membantai para PKI dan simpatisannya. Sedangkan bagaimana kejahatan para PKI dan komplotannya tidak diungkap, termasuk juga terhadap para agamawan dan ulama. Namun, disitu juga dapat dikatakan informasi ‘Tempo’ banyaknya TNI yang mengambil keuntungan dibalik algojo. Istilahnya, algojo yang berjuang menjagal para PKI, namun, para tentara yang naik pangkatnya, boleh jadi hingga bintang bertaburan di pundaknya.
Bagaimana kisah yang sesungguhnya, memang saya sendiri gelap kecuali dari berbagai cerita dan bacaan sekolah termasuk di majalah ‘Tempo’ itu.
salam damai,

Bang Nasr