Salah seorang syaikh di Yordania, Ali Hasan Al-Halabi, pernah memberikan ceramah di Masjid Istiqlal, Jakarta. Dalam ceramah itu, ia mengatakan, pembawa dakwah salafi ke Indonesia pertama kali adalah Ahmad Surkati. Menurutnya, Surkati adalah seorang syaikh dari syaikh-syaikh Salafi.
Benarkah itu?
Ahmad Surkati lahir di Pulau Arqu, Dunggula, Sudan, pada 1874. Waktu itu, Dunggula masuk ke dalam wilayah Mesir. Ayahnya adalah Muhammad bin Muhammad Al-Khazraji Al-Anshari. Dari garis keturunan ayahnya ini, Surkati dipercaya mewarisi darah keturunan Jabir bin Abdillah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhuma, salah seorang sahabat Rasulullah.
Akan tetapi, orang-orang lebih mengenalnya lewat nama Surkati atau Soorkatti ketimbang Al-Anshari. Soorkatti adalah panggilan dalam dialek Sudan, sebuah panggilan yang diberikan oleh salah seorang pamannya. Soor berarti buku-buku, sedangkan katti berarti banyak.
Surkati mulai mempelajari Al-Qur’an sejak kecil. Setelah ayahnya meninggal-dunia, Surkati meneruskan pelajarannya ke negeri Arab. Di sana, ia pernah belajar di Makkah dan Madinah. Pada 1906, ia menerima sertifikat tertinggi untuk guru agama dari pemerintah Turki Utsmani di Istambul dan mulai mengajar di Tanah Suci.
Tahun itu sekitar satu tahun setelah Muhammad Abduh meninggal-dunia. Meski demikian, Surkati telah mengenal tulisan-tulisan Abduh. Surkati pun secara rutin membaca majalah Al-Manar, sebuah corong pemikiran Abduh yang diteruskan Muhammad Rasyid Ridha. Surkati tergugah dengan pemikiran yang dikembangkan Abduh dan, sebagaimana ditulis Deliar Noer dalam Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900 – 1942, menjadi salah seorang pengikut Abduh.
Setelah diminta untuk menjadi salah satu pengajar di Jami’at Khair, Surkati akhirnya bersedia berangkat ke Jawa dan tiba pada Maret 1911. Kesediaan itu, menurut Husein Badjerei, didorong oleh pandangan Surkati bahwa “Mati di Jawa dengan berjihad lebih suci daripada mati di Makkah tanpa jihad.”
Sebagai salah seorang pengajar Jami’at Khair, Surkati mulai memberikan pengaruh di tengah mereka dan berdampak luas pada hubungan sayyid dengan non-sayyid di Indonesia. Bermula dari sebuah fatwa Muhammad Rasyid Ridha, pada 1913 Surkati pun mengeluarkan fatwa yang semisal di Solo. Fatwa itu terkait hak-hak sayyid-sayyidah dan syarif-syarifah dengan hak-hak di luar golongan mereka.
Sayyid sering diartikan sebagai tuan yang barangkali sepadan dengan master—ketimbang lord—dalam bahasa Inggris. Sayyid umum diterima sebagai gelar untuk setiap laki-laki yang masih memiliki garis keturunan dari Rasulullah. Untuk kaum perempuan, mereka digelari dengan sayyidah.
Dari kata sayyid dan sayyidah kemudian muncul kata sidi dan siti. Sidi adalah akronim dari sayyidi (tuanku), sedangkan siti dari sayyidati (tuan putriku). Dalam sejumlah karya sastrawan Indonesia dulu, kedua akronim itu sering disinggung sebagai bukti bahwa sidi dan siti pernah akrab dikenal masyarakat kita.
Hanya saja, sejumlah peneliti sejarah masih memaksudkan sebutan sayyid dan sayyidah khusus kepada keturunan Rasulullah dari jalur Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma. Sebaliknya, gelar syarif dan syarifah dikhususkan kepada keturunan Rasulullah dari jalur Husein bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma. Perbedaan seperti ini sangat jarang diketahui khalayak umum.
Dalam sejarah, sayyid-sayyidah banyak berdiam di wilayah Yaman, sedangkan syarif-syarifah banyak berdiam di wilayah Hijaz terutama di Makkah. Dari tempat-tempat itu, mereka bermigrasi ke berbagai negara di dunia. Mereka meneruskan keturunan tetapi juga menjaga kuat ikatan nasab keturunan masing-masing.
Fatwa Ridha dan Surkati yang dimaksud adalah fatwa yang membolehkan seorang Arab non-sayyid untuk menikah dengan seorang sayyidah. Ridha memfatwakan boleh, terkait pernikahan seorang laki-laki India dengan seorang Syarifah di Singapura.
Dimuat di Al-Manar, fatwa Ridha itu mengundang penolakan keras dari salah seorang sayyid di Padang, Umar bin Salim Alatas. Menurut Alatas, semua orang Islam adalah hamba sahaya Ali bin Abi Thalib yang dengan itu juga berarti hamba sahaya semua keturunan Ali bin Abi Thalib.
Fatwa Surkati terkait dengan permasalahan yang menimpa seorang syarifah di Solo. Diketahui hidup tanpa ikatan pernikahan sah dengan seorang Cina, Surkati mendorong orang-orang Arab di Solo untuk mengumpulkan dana untuk mengambil dan menjauhkan syarifah itu dari Cina pasangannya. Surkati bahkan menyarankan agar salah seorang dari mereka bersedia menikahi syarifah itu, meskipun yang bakal menikahi itu bukan seorang sayyid atas dasar Islam tidak mensyaratkan seorang syarifah harus dinikahi oleh seorang syarif atau juga sayyid.
Fatwa tersebut makin memberi alasan bagi golongan non sayyid untuk menyalahkan sikap diskriminatif golongan sayyid. Sampai saat itu, golongan sayyid banyak menikmati hak-hak khusus di atas golongan non-sayyid. Selain hak menikahi sayyidah-syarifah, para sayyid mendapatkan hak taqbil, suatu hak untuk wajib diciumi tangan mereka jika bertemu dengan golongan non sayyid.
Di depan orang-orang pribumi sendiri, para sayyid mendapatkan penghormatan yang lebih ketimbang golongan non-sayyid. Jika sayyid-sayyid itu tergolong taat beribadah, biasanya mereka akan dianggap sebagai wali. Kuburan sayyid-sayyid jenis ini akan diziarahi banyak orang—Arab atau pribumi asli—untuk dijadikan tempat pembayaran nazar, pemanjatan doa, penyembelihan kurban tertentu atau hanya sekedar pembakaran kemenyan.
Keadaan seperti itu memupuk ketidaksukaan pada golongan non-sayyid dan ini telah berlangsung bertahun-tahun waktu itu. Merasa sederajat dengan para sayyid itu, golongan non-sayyid di Jami’at Khair akhirnya memutuskan untuk keluar. Pada 1913, mereka mendirikan sebuah organisasi yang bernama Jam’iyah Al-Islam wa Al-Irsyad Al-‘Arabiyah atau sering disebut Al-Irsyad dan baru pada tanggal 11 Agustus 1915 pemerintah Hindia Belanda mengakui organisasi ini lewat keputusan Gubernur Jenderal No. 47.
Akan halnya Surkati, semula, ia bersikap moderat. Ia pribadi tidak menyetujui perpecahan itu. Fatwa yang ia berikan tidaklah lahir di atas kebencian terhadap golongan sayyid. Karena itu, Surkati tidak memiliki alasan yang masuk akal untuk keluar dari Jami’at Khair. Beberapa waktu lamanya, ia masih mengajar di Jami’at Khair.
Surkati baru keluar setelah mengetahui ketidaksukaan kalangan sayyid yang ada terhadap kehadiran dirinya di Jami’at Khair. Sempat mendirikan sekolah sendiri, Surkati akhirnya bergabung dengan Al-Irsyad. Kecuali antara 1920 dan 1924 karena urusan dagang, Surkati terus bersama Al-Irsyad sampai ia meninggal-dunia pada 1943.
Di Al-Irsyad, Surkati memegang posisi yang sangat penting bagi organisasi. Ia dianggap sebagai orang berilmu dan menjadi rujukan organisasi. Secara struktural, ia sempat menjabat sebagai hoofdkwartierdan digaji sebesar f. 300 (baca: 300 gulden Belanda) yang waktu itu setara dengan beras sebanyak 8000 ton.
Sebagai wakil dari Al-Irsyad, misalnya, Surkati pernah diutus untuk menghadiri Kongres Al-Islam pertama pada 30 Oktober – 2 November 1922. Di sela-sela acara, ia menyempatkan diri untuk berdialog dengan Semaun, pemimpin PKI waktu itu. Mereka berdialog menyangkut tema “Pan-Islamisme dan Komunisme: Islamkah atau Komunismekah yang Bisa Membebaskan Negeri Ini dari Penjajahan?”.
Dialog itu sendiri tidak menemukan titik temu. Akan tetapi, sebagaimana diceritakan Badjerei yang menjadi penerjemah buat Surkati selama dialog itu, Surkati terkesan atas sikap Semaun yang komunis. “Saya suka sekali orang ini karena keyakinannya yang kokoh dan jujur bahwa hanya dengan komunisme-lah tanah airnya dapat dimerdekakan!”, aku Surkati.
Terbuka untuk berdialog dengan pihak-pihak lawan menjadi salah satu jalan penting yang dipegang Surkati. Karenanya, dalam kehidupan beragama, Surkati lebih mengedepankan upaya mempersatukan umat—apapun akidah yang mereka pegang—daripada menasehati mereka untuk berakidah satu.
Untuk itulah, dalam salah satu terbitan Az-Zahirah Al-Islamiyah, Surkati pernah menghimbau umat Islam agar bersatu dan jangan berpecah-belah. “Meskipun dia itu berpaham Syi’ah,” tulis Surkati, “dia Syi’ah kita. Meskipun dia itu Sufi, dia Sufi kita. Meskipun dia itu Khawarij, dia Khawarij kita. Meskipun Wahhabi yang keras, dia itu Wahhabi-keras kita.”
Dialog lain yang pernah dilakukan Surkati adalah dialog bersama Ahmad Dahlan. Jauh sebelum terbentuknya Al-Irsyad, Surkati pernah bertemu dengan Ahmad Dahlan dalam salah satu perjalanannya ke Solo. Mereka berdialog dan bertukar pikiran selama perjalanan itu.
Karena sama-sama tertarik dengan pemikiran Abduh, mereka berdua kemudian sepakat mengembangkan pemikiran Abduh di Indonesia. Surkati pun secara pribadi mendorong Dahlan untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam bagi anak-anak pribumi. Menurut G.F. Pijper yang menulis Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900 – 1950, peristiwa tersebut terjadi sebelum Dahlan mendirikan Muhammadiyah di Yogyakarta.
Dapat dicatat, pengaruh pemikiran Abduh pada Surkati tidak sedikit. Selain berusaha mewujudkan pemikiran-pemikiran Abduh dalam pendidikan di Al-Irsyad, Surkati sendiri adalah seorang muslim rasionalis seperti Abduh. Padahal, menjadi seorang rasionalis waktu itu bukan sesuatu yang gampang seperti hari ini.
Kesimpulan tersebut dapat kita bayangkan, jika mengingat kaum muslimin waktu itu masih memiliki kecenderungan untuk memahami Qur’an dan Sunnah secara tekstual. Sebagai misal, ketika mayoritas kaum muslimin waktu itu memercayai berita tentang turunnya Nabi Isa dan munculnya Dajjal serta Imam Mahdi, Surkati dengan tegas menolak semua itu.
Alasannya, selain berasal dari hadits-hadits ahad, berita-berita itu semua tidak dapat dicerna oleh akal pikiran manusia. Seperti keyakinan yang dipegang kelompok Mu’tazilah, hadits-hadits ahad adalah jenis hadits yang diriwayatkan hanya dari satu orang periwayat. Bagi mereka, hadits-hadits ahad tidak dapat dijadikan dasar argumen kita dalam akidah.
Dapat diwajari, jika pada akhirnya Surkati menolak kecenderungan-kecenderungan yang dibawa para pengikut Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab yang waktu itu telah menguasai kembali Tanah Suci di bawah kepemimpinan Abdul Aziz Ibnu Su’ud. Sebagaimana disebut dalam himbauannya, bagi Surkati, para pengikut Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab itu adalah orang-orang Islam yang keras, Wahhabi mutasyaddid.