Dalam beberapa tahun mendatang Purwokerto dan kota-kota sekitarnya akan segera mempunyai bandara. Pangkalan TNI AU di Wirasaba, Purbalingga sebentar lagi akan dijadikan bandar udara komersial. Ini merupakan sebuah kemajuan, tetapi dibalik kemajuan ada yang harus dikorbankan.
Wirasaba adalah daerah dimana empat Kabupaten (Banyumas, Purbalingga, Cilacap dan Banjarnegara) berakar sekitar setengah abad silam. Karena akan dijadikan bandara, beberapa situs peninggalan sejarah terancam tergusur. Tergelitik dengan fenomena ini, maka 28 Desember lalu, seharian saya membuntuti teman-teman Banjoemas History & Heritage Community (BHHC) mengikuti Ekspedisi “Wirasaba Sebelum Terlambat”.
Ekspedisi ini menarik, karena merupakan ekspedisi pertama yang pernah ada. Rutenya benar-benar orisinil rancangan teman-teman BHHC. Bertambah menarik lagi karena yang bergabung dalam rombongan ekspedisi ini adalah teman-teman dari lima komunitas yang berbeda-beda. Komunitas Fotografer “Lensa Manual” gesit mengambil gambar, teman-teman pecinta kereta api “Spoor5″ tekun menelusuri jalur kereta api tua, teman-teman komunitas pendidikan informal “Padang Ilalang” cermat mengudap pelajaran, teman-teman komunitas wirausaha muda “Semangat Donk Indonesia” asik merancang-rancang peluang bisnis wisata-historia, dan kelima adalah teman-teman dari komunitas pecinta heritage & sejarah “BHHC” itu sendiri yang serius mereka-reka alur sejarah.
Perjalanan mengasyikkan ini dimulai dari pukul 07.00, setelah berkumpul di GOR Satria Purwokerto, rombongan yang berjumlah 11 orang ini meluncur menuju destinasi pertama : Pasar Sokaraja. Mengapa Pasar Sokaraja? Di sini ada bekas stasiun kereta api zaman Belanda dulu.
Lepas sokaraja, pasukan ekspedisi menuju daerah bernama Banjarsari. Kali ini track ekspedisi menuruti papan dan patok tanah bertuliskan “Tanah Milik PT KAI”. Disitulah jalur kereta api yang menghubungkan Purwokerto dengan Wonosobo dulu berada. Memang, rel-relnya sudah tidak terlihat, tapi dari kontur tanahnya, kentara bahwa disitu pernah ada rel kereta api.
Semakin menarik perjalanan ketika di tengah-tengah hamparan sawah, kita menjumpai seonggok pondasi berjajar menyerupai penyangga jembatan. Dan betul saja, itu adalah bekas jembatan kereta api. Bahkan, setelah berjalan selang beberapa menit, di tengah ladang penduduk tidak saya sangka ada jembatan besar yang masih kokoh berdiri. Jembatan bekas jalur kereta api itu kini menjadi jalur strategis para petani di desa sekitar, setelah relnya diganti dengan floor semen.
Perjalanan menyusuri jalur kereta api tua ini kalau dilanjutkan akan sampai ke Banjarnegara hingga Wonosobo. Tetapi kita memilih menghentikan perjalanan di sekitar SMP Negeri 1 Kemangkon. Dari situ kita merangsek menuju rumah tua di area bandara TNI Wirasaba. Rumah itu adalah milik Eyang Tirtasentana (1873-1940). Di bagian pendopo rumah tua yang beberapa bagiannya masih terjaga keasliannya itu sedang dilangsungkan pertemuan keluarga, keturunan Eyang Tirtasentana.
Siapakah Eyang Tirtasentana itu? Beliau adalah salah satu tokoh di daerah Wirasaba, Purbalingga pada masanya. Ketokohan beliau masih terlihat sampai sekarang salah satunya adalah dari kerukunan anak cucu keturunannya. Dua tahun sekali mereka yang sudah berdomisili di berbagai pulau di Indonesia berkumpul seperti hari itu di rumah tua milik leluhur mereka hanya untuk bersilaturahim. Rumahnya sebetulnya sudah agak reot, tetapi unik karena begitu orisinil, dan anak cucu keturunannya itu bermalam di kamar-kamar rumah itu, tidak dihotel. Betul-betul sebuah aksi “nguri-uri” peninggalan leluhur yang nyata.
Kita dipandu oleh salah satu dari anggota keluarga Tirtasentana untuk berkeliling melanjutkan ekspedisi. Kita meluncur ke beberapa makam-makam tua, makam Tirtasentana dan anak-anaknya. Di setiap makam kita berhenti sambil menerima penjelasan tentang sejarah tokoh yang ada di makam tersebut.
Diantara makam yang kita kunjungi adalah makam Eyang Djayadiwangsa (1835-1918). Djayadiwangsa adalah ayah mertua dari Tirtasentana. Djayadiwangsa adalah seorang pedagang dan petani sukses di Wirasaba. Karena kesuksesan beliau, di zaman Kolonial dulu, Belanda membuatkan rel kereta api khusus di sebelah selatan jalur utama Kereta Api Purwokerto - Purbalingga - Wonosobo.
Masih di area Bandara Wirasaba, kita diberi ijin oleh Kuncen untuk masuk ruang makam salah satu tokoh pendahulu Banyumas, yakni Adipati Warga Utama II atau dikenal juga sebagai Adipati Wirasaba. Dalam menjalankan pemerintahan dulu, Adipati Warga Utama II berada dibawah kekuasaan Kerajaan Pajang. Adipati Warga Utama II kemudian mempunyai menantu yakni Joko Kaiman. Joko Kaiman inilah yang disebut Adipati Mrapat, Adipati yang membagi Wirasaba menjadi empat wilayah dan hingga kini berkembang menjadi Kabupaten Banyumas dan Kabupaten-Kabupaten di sekitarnya.
Makan Adipati Mrapat-lah yang tiap Hari Jadi Banyumas diadakan upacara khusus oleh Bupati dan masyarakat hingga kini. Sedangkan makam ayah mertuanya, Adipati Warga Utama II kurang mendapat perhatian. Oleh karenanyalah saya merasa beruntung bisa ikut ekspedisi ini, karena bisa berziarah ke makam Adipati Warga Utama II dan mendapat sekilas ceritanya langsung di samping makam beliau.
Lalu, adakah hubungan antara pengusaha sukses Djayadiwangsa dengan tokoh-tokoh pendahulu Banyumas itu? Menurut runut silsilah, Djayadiwangsa adalah Cucu dari Adipati Warga Utama II.
Ekspedisi kita bukan hanya mengunjungi makam-makam tua. Kita juga mengunjungi beberapa pendopo, diantaranya adalah Pendopo Djayadiwangsa, juga pendopo Adipati Wirasaba yang kini telah dipugar menjadi Sekolah Dasar (SD) dan kita juga mengunjungi Bandara Wirasaba. Bandara milik TNI AU yang landasannya masiih tanah berrumput, belum diaspal. Menurut cerita tanah tempat bandara dibangun ini dulunya adalah milik lurah Wirasaba yang kemudian dipakai untuk pangkalan militer Belanda dan hingga kini belum jelas, masih ditelusuri apakah statusnya saat itu tanah dipinjamkan, disewakan, jual-beli atau hibah.
Begitulah Kota Purwokerto ini awalnya berakar tak bisa lepas dari sejarah dan situs-situs tua di Wirasaba ini. Dan akhirnya trip ini berakhir jam 14.00, ditutup di Pendopo Tirtasentana awal kita singgah di Wirasaba tadi. Disini, kita dijamu dengan beberapa kudapan, diantaranya adalah “Cimplung”, Cimplung adalah makanan aseli Indonesia, lezatnya mengalahkan makanan Eropa, terbuat dari singkong, ubi dan kelapa muda yang direbus dengan air nira saat memasak gula merah. Rasanya maknyuss, mantap sekali.
Berangkat dari ekspedisi ke Sokajara - Banjarsari - Wirasaba kemarin, kita terpikir untuk merancang trip WISATA SEJARAH yang bisa diikuti oleh pelajar dan mahasiswa, untuk mengurai akar leluhur mereka, untuk memahami bagaimana sejarah berproses hingga lahir Kota Purwokerto dengan keteduhan dan keanggunannya kini.
Nantinya, setelah trip ini berhasil disusun rancangan itenerary dan muatannya, pelajar yang menjadi peserta setidaknya akan mendapatkan manfaat diantaranya sebagai berikut ini :
1. Mengetahui tokoh-tokoh pendahulu Kabupaten Banyumas dan Kota Purwokerto
2. Merasakan nuansa sosial pada masa tokoh-tokoh tersebut
3. Mempedulikan tempat-tempat dimana heritage bangunan bersejarah masih berdiri dan tidak mudah menghancurkannya
4. Berinteraksi dengan tokoh-tokoh masyarakat di sekitar tempat bersejarah yang masih hidup
5. Mengenal makanan tradisional Banyumas yang aseli Indonesia
6. Meneruskan semangat “jiwa besar” dari para pendahulu