Y U S U F

Di kedalaman sumur, nama itu senyap, dingin dan menggigil. Yakub gelisah, galau dengan mata yang katarak. Penglihatan sekeping celah, benderang nan redup. Yusuf ditelan padang gurun, kemudian naik dalam gegar pikulan caravan. Hidup antara budak, fitnah, kumal, gelap, jeruji penjara. Keteguhan iman yang menghunjam, bertindak sebagai pembebas. Zulaikha yang melemparkan dia ke penjara, dan Zulaikha pula yang menghidu madu. Setiap desiran darah yang mengalir dalam nadi Zulaikha, membentuk huruf; Y u s u f. Dan darah di ujung jemari yang menetes jatuh vertikal ke tanah, juga membentuk huruf: Y u s u f…, Y u s u f,… Y u s u f,… Y u s u f. Dalam ‘igau’ sentak pelana kuda, lalu Zulaikha berlari kencang. Debu yang beterbangan dari telapak pelana kuda itu, lalu menggumpal dan membentuk huruf; Y u s u f… dan Y U S U F … Ini kesan para penghayat esoteric mengenai Yusuf.

Tanah Mesir pada sebuah zaman: dari ujung kaki langit ke kaki langit nan sayup, beradu dalam sekepal genggam Yusuf yang bijak dan tampan. Yusuf, bukan anak wathan Mesir. Dia seorang pendatang, yang digelinding oleh sejarah pembuangan dan para budak. Yusuf adalah klimaks dendam para saudara sedarah yang bermaksud mencuri hati sang ayah renta bernama Yakub. Benjamin, si bungsu jadi rebahan jiwa yang koyak, walau tak kuasa menjahit calar dan luka sang anbiya gering. Dan Benjamin menjalani persaksian panjang tentang Yusuf yang hilang, berdiri gagah di atas peterakna kuasa di sebuah tanah jauh bernama Mesir. Dari Kana’an, keluarga Yakub, mengembara mencari bala bantuan pangan, ketika Kan’aan mengalami krisis pangan. Yusuf tegak sebagai raja. Kemudian Yusuf menyibak rahasia kepada Benjamin, dan Benjamin pun dibungkus rahasia. Antara rahasia dan Benjamin, entah siapa yang duluan berujar: Benjamin diam, sang rahasia pun tercenung. Begitu sebaliknya.

Membaca dan mentakwil mimpi, adalah sebuah instrumen langit yang dihibahkan kepada Yusuf. Diikat kencang oleh ‘tongkat’ kejujuran, Yusuf bersaksi mengenai mimpi sang raja tua mengenai tanah Mesir. Dan mimpi itu ditakwil dan diterjemah dalam jangkauan serba terukur. Penulis Jerman Thomas Mann, dengan cerdik menggambarkan mimpi Yusuf ketika masih remaja yang diujarkannya kepada sang ayah, dibungkus dalam kemasan novel panjang: “Joseph und seine Brueder”. Bahwa Yusuf bermimpi; matahari yang sujud, bulan yang sujud disertai sebelas bintang dengan aplitudo nan redup: “die Sonne, der Mond und elf Kokabim…”. Tetralogi, khusus dalam penggalan “Die Geschicten Jaakobs” dikisahkan sekilas mengenai ujaran Yakub kepada putera tercintanya Yusuf: “Es sitzt das Kind an der Tiefe” sagt Jaakob besorgt zu seinem Lieblingskind, Joseph, als er diesem mitternaechtes dabei andeckt, den Mondguetten zu huldigen…

Dan Yusuf pun memikul resep juga formula dalam tempaan hidup yang pelik, berkecukupan dan pelik kembali, lalu ditutup dengan alkisah kemewahan sebagai raja Mesir. Noer Azam Achsani menyelam tubir sejarah Yusuf mengenai krisis pangan dunia. Dan Yusuf adalah tapak inspirasi yang giga mengenai ihwal ini. Ketika menyebut Yusuf, sejarah senantiasa silau akan ketampanannya. Sejarah seakan tergoda dan menggoda romantika Yusuf dan Zulaikha. Setiap ibu hamil, senantiasa berdoa jika anaknya kelak lelaki, hibahkanlah ketampanan Yusuf. Jika perempuan, dekatkanlah dengan citra Siti Maryam sang bunda Al Masiha Isa. Azam Achsani yang tergoda dengan rumusan nabi Yusuf mengenai ketersediaan pangan. Yusuf dalam konteks ini adalah seorang pendatang, dari tanah jauh. Membawa ide-ide penyelamatan, membawa ihwal kebajikan bagi maslahat segala umat dan makhluk. Dia bangun irigasi, dia bangun ladang gandum. Nukilan kisah Yusuf ini dlam al Quran: “Dan menanamlah selama tujuh tahun berturut-turut secara sungguh-sungguh. Apa yang kamu tuai hendaklah ditingkalkan di tangkai, kecuali untuk kamu makan dalam jumlah yang sedikit”. Nabi Yusuf, bagi Achsani dari IPB, adalah “The Best Economist Ever”. Tak ada ajaran agama yang menganjurkan pembangunan ekonomi berbasis hutang, tak ada ajaran agama yang menyuling kisah mengenai krisis pangan yang diatasi dengan strategi impor pangan.

Kisah Yusuf terentang dari ruang para budak hingga maharaja berkecukupan. Maharaja yang menebar kasih dan mengutamakan transparansi kekuasaan dan sistem pemerintahan. Ajaran ekonomi yang bertahan dalam jangka panjang (menanam tujuh tahun berturut-turut), jangka menengah (tinggalkan hasil tuaian itu di tangkai, dengan makna sistem tabungan dan transparansi) dan jangka pendek (ambilkan sedikit untuk dimakan, sesuai dengan keperluan). Kaidah lain adalah, mereka yang bertindak sebagai kaum muhajir, kaum yang berpindah, selalu memiliki elan vital untuk menyelamatkan diri (survive) lewat dawai sensitivitas yang tergolong tinggi dan bijak. Para pendatang, adalah tempat bertanya. Yusuf sebagai seorang pendatang dalam gelora para budak, fitnah dan jeruji penjara, beroposisi dengan ketampanan, godaan eros wanita, berseteguh dengan kejujuran, menjunjung tinggi prinsip-prinsip kemanusiaan yang memuliakan sang tuan pembebas, yang nyatanya seorang lelaki impoten suami Zulaikha yang perawan bohai.

Yusuf, bukan persoalan kenangan atau ingatan. Di tengah dunia yang bercelaru, entah mana pangkal dan entah mana ujung, masih ada harapan mengejar cahaya. Yusuf yang terpasung dalam kegelapan sumur, hanya bisa mengeja sejumlah gemintang dalam kuluman amplitude nan redup (dan bahasa Jerman menyebutnya sebagai Kokabim). Mimpi Yusuf mengenai sebelas bintang, dan ikhtiar Yusuf mengintip celah lubang sumur untuk mengeja sejumlah bintang yang bertabur, ialah celah dan liang mengenai harapan, walau jauh dan jauh. Sesuatu nan jauh, jika didekat-dekatkan dalam nadi, dalam nurani, dalam sukma dan cita-cita, dia bakal menjadi dermaga di teluk nan teduh, tempat para jauhari berlabuh dan menjatuhkan sauh. Maka bergeloralah menggali kepingan kisah-kisah yang terpendam, tidak dari kerangka awam, atau tajur para mainstream. Temukanlah sejumlah dugaan minor di tengah bentangan kisah serba mayor dan romantik. Yusuf, Harun, terutama Khaidir menyilang serangkaian kisah minor tak terduga. Dan kita didorong untuk menjadi para “penduga”, yang tak durjana…

Yusmar Yusuf