Dinasti Buwaihi: Rezim Syiah dalam Kekhalifahan Abbasiyah

Dinasti Buwaihi: Rezim Syiah dalam Kekhalifahan Abbasiyah

Peninggalan Dinasti Buwaihi

Dinasti Buwaihi dibangun oleh tiga putra Abu Syuja' Buwaihi – seorang pencari ikan dari Dailam, Iran utara.

Memasuki abad ke-10 M, kejayaan Kekhalifahan Abbasiyah mulai meredup. Ketika dipimpin oleh Khalifah Ar-Radhi Billah – penguasa Abbasiyah ke-20 yang berkuasa pada 940-944 M – kekuatan politik dan militer Adidaya dari dunia Islam itu mulai tak berdaya.

Pada era itu, wilayah-wilayah yang tergabung dalam Kekhalifahan Abbasiyah mulai memisahkan diri. Mereka mendirika dinasti-dinasti kecil. Wilayah kekuasaan Abbasiyah mulai menyempit, ketika di Mesir, Afrika Utara berdiri Kekhalifahan Fatimiyah, dan perwakilan Abbasiyah di Andalusia (Spanyol) memproklamirkan berdirinya Kekhalifahan Ummayah.

Di tengah situasi yang tak menguntungkan itulah, sebuah dinasti bermazhab Syiah yang berkuasa di wilayah Persia dan Irak masuk dan mengendalikan kekuatan politik dan pemerintahan Abbasiyah. ‘’Kegagalan Kekhalifahan Abbasiyah untuk merekrut dan membayar militer selama paruh pertama abad ke-4 H/10 M yang membuat dinasti itu mengendalikan Abbasiyah,’’ ujar Prof Syafiq Mughni dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Khilafah.

Dinasti Syiah yang menguasai politik dan pemerintahan Abbasiyah selama 110 tahun (945-1055 M) itu bernama Buwaihi. Dinasti Buwaihi dibangun oleh tiga putra Abu Syuja' Buwaihi – seorang pencari ikan dari Dailam, Iran utara. Ketiganya adalah Ali bin Buwaihi yang berkuasa di Isfahan, Iran; Hasan bin Buwaihi yang berkuasa di Rayy dan Jabal, Iran; serta Ahmad yang membangun kekuatan di Khuzistan dan Al-Ahwaz (sekitar Irak).

Menurut Ensiklopedi Islam, ketiga bersaudara itu memulai karier sebagai prajurit pada bani Samaniyah. Mereka menjadi pasukan perang yang dipimpin seorang panglima bernama Makan Ibnu Kali. Tak lama setelah pamor panglima perang di wilayah Dailam, Iran utara itu meredup, tiga bersaudara itu bergabung dengan pasukan Mardawij ibnu Zayyar Al-Dailamy.

Prestasi mereka dalam militer begitu kinclong. Ibnu Maskawih dalam Tajarub Al-Umam mengisahkan, panglima Mardawij yang begitu puas dengan prestasi tiga bersaudara itu, kemudian mengangkat Ali sebagai gubernur Al-Karaj. Hasan dan Ahmad pun menduduki jabatan penting.

Ketiga bersaudara itu membangun kekuatan dan kekuasaannya dari Al-Karaj. Pasukan pimpinan Ali berhasil melebarkan sayap kekuasaannya ke daerah-daerah di Persia. Kota Syiraz mereka jadikan pusat pemerintahan Bani Buwaih. Sepeninggal panglima Mardawij, ketiganya berhasil menaklukkan kota penting di Persia, seperti Isfahan, Ray dan Jabal.

***

Saat itu kekuasaan Abbasiyah masih begitu kuat. Untuk menunjukkan eksistensi Dinasti Buwaih, Ali pun beruapaya mendapatkan pengakuan dari khalifah Abbasiyah. Setelah menyetorkan upeti ke Baghdad, Dinasti Buwaih pun secara resmi diakui oleh Khalifah Al-Radhi Billah. Berbekal legalitas dari Baghdad, Bani Buwaih melebarkan sayap kekuasaannya hingga mencapai Irak, Ahwaz dan Wasith.

Di tengah menguatnya kekuatan militer Bani Buwaih, pusat pemerintahan Abbasiyah justru dilanda kekisruhan. Pangkal persoalannya adalah perebutan kursi Amir Al-Umara (penguasa politik negara) antara wazir dengan petinggi militer. Pejabat militer di ibu kota Abbasiyah memohon bantuan Dinasti Buwaihi.

Pada 11 Jumadilawal 334 Hijiriah/945 M, pasukan Hasan bin Buwaihi memasuki Baghdad dan disambut oleh penduduk metropolitan dunia itu. Kehadiran pasukan tentara di bawah dinasti bermazhab Syiah itu menawarkan harapan baru bagi masyarakat di kota Baghdad yang sudah jengah dengan tekanan-tekanan dari keturunan Turki dan budak-budak yang menguasai istana.

Menurut Prof Badri Yatim dalam Sejarah Peradaban Islam, kehadiran pasukan Buwaih itu juga mendapat sambutan dari khalifah. Meski tak menerima gelar Amir Al-Umara (pemimpin para pemimpin), Hasan mendapat anugerah kehormatan berupa gelar Mu'izz Al-Daulah (penegak negara). Kedua saudara kandungnya, Ali dan Ahmad dan masing-masing mendapat gelar Imad ad-Daulah (tiang negara) dan Rukn ad-daulah (penopang negara).

Berdasarkan kesepakatan antara Khalifah Abbasiyah dan Ali bin Buwaihi, keturunan Buwaihi akan diakui sebagai sultan. Dinasti Buwaihi pun mengakui kedudukan khalifah. Nama-nama mereka dan khalifah akan disebutkan dalam khutbah-khutbah Jumat, dan diukir pula dalam mata uang logam. ‘’Sejatinya, para penguasa Buwaihi adalah penguasa Abbasiyah,’’ tulis Ensiklopedi Islam.

Sejak saat itulah, Kekhalifahan Abbasiyah dikendalikan para amir Bani Buwaih. Khalifah tak lebih hanya sebagai simbol, tak berdaya dan tak memiliki kekuatan politik dan militer. ‘’Pada masa pemerintahan Bani Buwaihi inilah, para Khalifah Abbasiyah hanya tinggal namanya saja,’’ tutur Prof Badri Yatim. Sebab, pelaksanaan pemerintahan berada dalam genggaman amir-amir Buwaihi.

Dinasti Buwaih pun memindahkan pusat kekuasaannya dari Syiraz ke Baghdad. Di kota itu mereka membangun Dar Al-Mamlakah. Meski begitu, pusat kekuasaan Dinasti Buwaihi yang sebenarnya berada di Syiraz, tempat Ali bin Buwaihi (saudara tertua) bertahta. Berkuasanya Bani Buwaih di Baghdad ternyata mampu menyatukan kembali dinasti-dinasti kecil yang sempat menyatakan keluar dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah.

Menurut Prof Badri Yatim, pada masa kepemimpinan amir-amir Buwaihi, sering terjadi bentrokan dan konflik antara penganut Sunni dan Syiah. Setelah 110 tahun mengendalikan kekhalifahan Abbasiyah, kekuatan politik Dinasti Buwaih pun terus meredup.

Tak seperti tiga pendahulunya yang kompak dan saling melengkapi, generasi penerus Buwaih juga dilanda pertikaian. Lagi-lagi jabatan dan kekuasaan yang menjadi pangkal masalah. Kendali kekuasaan Dinasti Buwaih di Kekhalifahan Abbasiyah akhirnya diambil alih oleh Dinasti Seljuk dari Turki.

Redaktur: Heri Ruslan Republika