“Tandur” merupakan istilah dalam pertanian masyarakat Subang yaitu singkatan dari bahasa sunda “Tanam Mundur”(Tandur). Tandur adalah suatu cara dalam menanam padi di sawah dengan lahan basah atau sawah irigasi. Kabupaten Subang memiliki lahan subur dan aliran sungai yang cukup banyak, menjadikan sebagian besar luas tanah Kabupaten Subang digunakan untuk pertanian. Kabupaten Subang merupakan salah satu daerah penyandang predikat lumbung padi nasional sebagaimana diungkapkan oleh Anggara dan Prasetyo (2009: 1) bahwa:
Pada tahun 2007, Kabupaten Subang menyumbangkan produksi padi hingga 1.020.606 ton terhadap stok padi nasional. Produksi padi tersebut dihasilkan dari lahan basah (1.015.695 ton) dan sisanya dari ladang. Luas lahan yang digunakan seluruhnya mencapai 84.701 ha dan lahan kering 120.475 ha.
Hal tersebut juga disebutkan oleh Breman dan Wiradi (2004:29) bahwa masyarakat Kabupaten Subang mayoritas bekerja sebagai petani dan buruh tani:
Subang Utara terletak di dataran yang dikenal sebagai lumbung padi Jawa Barat. Dikelilingi sawah tempat orang menanam padi hampir sepanjang tahun…yang penduduknya selama berabad-abad hidup dalam komunitas dan menggantungkan hidupnya terutama atau bahkan sepenuhnya pada usaha bercocok tanam.
Berbicara mengenai masalah pertanian kita tidak akan pernah berhenti sampai kapan pun di mulai dari zaman Peradaban Mesopotamia yang berada diantara sungai Eufrat dan Tigris pada tahun 4000 SM sampai pada zaman globalisasi dewasa kini. Tandur biasanya dilakukan setelah pengolahan tanah selesai dengan menggunakan tenaga mesin traktor dan diratakan dengan sosorong oleh buruh tani dalam sistem ceblokan. Tandur dikerjakan oleh para petani wanita setelah di cetak dengan menggunakan caplakan. Jarak tanam antara benih padi berusia 15-20 hari ini sekitar ±25cm-30cm.
Sejarah Inovasi Teknik Tandur
Pada masa penjajahan Belanda, masyarakat Indonesia terutama di Subang Jawa Barat masih menggunakan teknik tradisional dengan cara di aseuk atau ngaseuk (menanam benih setelah tanah dilubangi dengan batang kayu/tongkat). Ngaseuk masih dilakukan sampai sekarang akan tetapi untuk menanam benih padi sudah tidak lagi menggunakan aseuk terkecuali menanam padi varietas huma di lahas sawah tadahujan. Menurut sejarah teknik ngaseuk ini dilarang oleh pemerintah kolonial militer Jepang pada masa Penjajahan Jepang di Indonesia, dan digantilah dengan sistem menurut garis lurus jarak antar bibit padi 20 cm. Hal ini ditujukan untuk mengatasi rendahnya tingkat produktivitas padi. Kurasawa (1993:8-9) dalam bukunya Mobilitas dan Kontrol memaparkan bahwa:
Di jawa sebelum perang, petani menanam padi secara acak (tidak menurut garis lurus) di sawah, dan Jepang menemukan bahwa hal itu merupakan salah satu sebab rendahnya tingkat produktivitas padi. Mereka memerintahkan petani untuk mengikuti cara Jepang. Setelah serangkaian percobaan yang dilakukan oleh para insinyur pertanian Jepang, ditemukan bahwa jarak tanam yang ideal diantara bibit dari kebanyakan daerah Jawa, dengan tatanan lingkungannya serta bagi jenis padi yang ada, ialah 20 cm.
Cara tanam ini dilakukan dengan berjalan membungkuk mundur oleh karena itu disebut tandur, cara ini dilakukan agar benih padi yang telah ditanam tidak terinjak oleh kaki petani yang menanamnya, cara menanamnya yaitu ibu jari, telunjuk dan jari tengah memegang pangkal batang dekat akar benih lalu ditancapkan ke dalam tanah. Ada juga yang dilakukan dengan berjalan membungkuk kedepan, akan tetapi penamaan ini tidak berubah masih tetap saja tandur. Benih padi tersebut ditanam diantara pertemuan garis lurus yang memanjang dan memotong pada satu petak sawah, sehingga tampak rapih dan berbaris sesuai dengan garis caplakan. Menurut pengakuan saksi sejarah kepada penulis, Jusih (84 tahun) mengatakan bahwa:
Keur jaman Jepang mah tandur teh make awi teu aya caplakan. Jadi nuturkeun bukuan awi. Pernah bapa ema dijabokan ku Jepang gara-gara teu nurut melak pare na teu dijajarkeun da bapa ema mah make aseuk. [Pada jaman Jepang, tandur menggunakan bambu karena belum ditemukan caplakan / alat untuk memberi jarak tanam di sawah. Jadi menanam padi dengan mengikuti ruas bambu. Pernah bapak nenek ditampar dan dihukum oleh orang Jepang karena menanam padi tidak mengikuti perintah Jepang / disejajarkan dikarenakan bapa nenek masih menggunakan aseuk].
Petani yang sudah lama menggunakan teknik ngaseuk pada masa kolonial Belanda mendapatkan kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan aturan pemerintah Jepang. Akan tetapi pada kenyataannya inovasi teknik tersebut membuahkan hasil bahkan sampai hari ini masih tetap dilakukan oleh masyarakat yang ada di Seluruh Indonesia. Pada masa Penjajahan militer Jepang, “petani menduduki status peringkat kedua (setelah samurai)” Kurasawa (1993:21). Secara teoritis petani pada masa itu menikmati kedudukan yang lebih tinggi daripada pedagang dan pengrajin, sekalipun kedudukan ekonomi mereka sesungguhnya yang terendah.
Referensi :
Breman, J dan Wiradi, G. (2004). Masa Cerah dan Masa Suram. Jakarta: LP3S.
Kurasawa, Aiko. (1993). Mobilitas dan Kontrol Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945.Jakarta: GrasindoNicky Sapoetra