Pusat Arkeologi Nasional: Tak Ada Piramida dan Peradaban Atlantis di Nusantara

Situs Gunung Padang yang menjadi polemik nan berlarut-larut itu ternyata tidak ada kaitannya dengan piramida. Tampaknya, situs itu dari masa yang jauh lebih muda ketika kehidupan sudah kompleks. Satu lagi, tidak ada bukti tinggalan budaya dari belasan ribu tahun lalu di dalam bukit itu.

gunung padang,arkeologiMahandis Y. Thamrin/NGI
“Sayang sekali, kita sebenarnya menginginkan piramida dan atlantis itu ada di negeri ini,” ungkap Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Arkeologi Nasional, ”Tapi kenyataannya tidak ada bukti arkeologi, sehingga kita juga tidak ingin mengada-ada.”

Pernyataan itu disampaikan Simanjuntak pada seminar bertajuk “Rembug Situs Gunung Padang”, Kamis (29/3) di Gedung Pusat Arkeologi Nasional, Pejaten.

Simanjuntak mengkritik Arysio Santos, geolog dari Brazil, yang berpendapat bahwa Indonesia merupakan lokasi peradaban atlantis yang hilang itu. Menurut Simanjuntak, Santos menggunakan kajian geologi, paleogeografi, dan paleoiklim yang sangat terbatas, tidak menggunakan kajian arkeologi. Bahkan Santos belum pernah berkunjung ke Indonesia. Inilah diantaranya yang menyebabkan banyak kerancuan dalam pendapat Santos soal lokasi atlantis yang hilang itu.

Dalam menanggapi pendapat adanya peradaban atlantis (12.000 tahun lalu) dan piramida (4.000 tahun lalu) di Nusantara, Simanjuntak memberikan dua alasan penolakannya.

Pertama, kerangka waktu kemunculan peradaban keduanya bertentangan dengan bukti-bukti arkeologi. Bahwa kurun waktu 12.000–2.000 tahun lalu belum ada peradaban di Nusantara ini, yang ada baru kehidupan berburu dan meramu.

Kedua, Nusantara tidak mengenal bentuk piramida, namun nenek moyang kita membangun punden berundak untuk sarana menghormat roh leluhur. Budaya megalitik sendiri baru berkembang sekitar awal Masehi dan terus berlanjut hingga jauh ke zaman sejarah.

“Situs Gunung Padang tidak ada kaitannya dengan piramida,” ungkap Simanjuntak, “Agaknya dari masa yang jauh lebih muda ketika kehidupan sudah kompleks dan tidak adanya tinggalan dari belasan ribu tahun di dalam bukit”

Dari aspek geologi, Soetikno Bronto dari Pusat Survei Geologi menjelaskan bahwa Gunung Padang adalah leher atau sumbat lava di dalam kawah gunung api purba, berstruktur kekar kolom yang sudah roboh berserakan. Lalu,batu-batu itu ditata oleh manusia sebagai punden berundak untuk pemujaan. Namun karena sebab tertentu mungkin tanah longsor dan gempa bumi lalu ditinggalkan. “Seyogyanya informasi tentang adanya bangunan piramid cukup sebagai cerita fiksi saja untuk penambah daya tarik wisata alam atau wisata geologi gunung api purba.”

Danny Hilman Natawidjaja, yang mempresentasikan temuan Tim Katastropik Purba soal piramida situs Gunung Padang, menyambut baik acara yang menurutnya unik karena dihadiri para pakar dan senior dari berbagai disiplin ilmu. Dia berharap forum ilmiah berbeda dengan forum politik. Politik kadang menemui deadlock karena unsur kepentingan pribadi, namun ilmiah itu bersifat netral. “Asal kita open mind, apapun perbedaan pendapat itu akan ada jalan keluarnya,” tuturnya.

Di akhir acara, forum ini sepakat untuk segera mengembalikan ranah kegiatan penelitian di Gunung Padang dan situs arkeologi lainnya kepada Pusat Arkeologi Nasional. Lembaga yang kini di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu nantinya akan mengkordinasikan penelitian arkeologi yang memerlukan penanganan dari berbagai disiplin ilmu.

Soeroso, arkeolog senior dan mantan Sekretaris Dirjen Sejarah dan Purbakala Kemenbudpar, mengatakan bahwa dirinya tidak ingin kasus Gunung Padang ini menjadi polemik yang berlarut dan membuat masyarakat menjadi bingung, “Jadi harus ada keputusan bersama untuk berintegrasi dalam penelitian soal situs tersebut sehingga semuanya menjadi jelas,” ungkap Soeroso, “Koordinasi semacam ini tentunya akan lebih menguntungkan ketimbang kita bekerja sendiri-sendiri."

(Mahandis Y. Thamrin)