Pelestarian Benda Cagar Budaya:
Refleksi Pemugaran Dan Pelestarian
Situs Kota Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto
Tahun 1983-1995
Fandi Rahman
Abstract: The activity that head to protect cultural preserve is a kind of activity to protect and conserve the cultural preserve and the benefit will be aim to improve the cultur nation that is nation cultur.
Key Words: Site, Conservation, Object of cultuural
Sejak awal kita telah mempelajari bahwa kebudayaan dan masyarakat pendukungnya merupakan paduan yang tak terpisahkan. Tak mungkin yang satu dengan yang lain berdiri sendiri (Soekmono, 1973:124). Sejarah tidak selalu identik dengan peristiwa-peristiwa penting atau tokoh-tokoh besar di masa lampau, namun terkait dengan produk budaya material.
Menurut Soekmono pengertian dari pelestarian Benda Cagar Budaya adalah 1) mencegah secara fisis tentang kerusakan atau pemusnahan Benda Cagar Budaya serta mengupayakan agar Benda Cagar Budaya tetap eksis dari bahaya kepunahan, dan 2) mempertahankan serta mengupayakan agar nilai-nilai budaya positif yang terkandung didalamnya dapat berkembang bahkan diwariskan secara terus menerus dalam rangka memperkuat jati diri bangsa (Suprapta, 1996:86).
Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya pasal 15 menjelaskan mengenai larangan merusak Benda Cagar Budaya (BCB) dan situs serta lingkungannya yaitu merubah bentuk dan warna, memisahkan dari satu kesatuannya, membawa atau memindah dari tempat asalnya, dan memperjual-belikan secara ilegal. Hal itu merupakan pengertian dari vandalisme BCB yang menjadi sebab utama kerusakan atau musnahnya BCB. Vandalisme menunjukkan betapa rendahnya kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap peninggalan BCB.
Masalah utama dalam upaya pelestarian BCB adalah bersifat teknik arkeologis. Pelestarian Benda Cagar Budaya harus berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip dalam Ilmu Arkeologi yaitu pemugaran yang merupakan perbaikan dan pemulihan kembali tanpa merubah bentuk dan bahan aslinya. Pemugaran meskipun sudah sesuai dengan bentuk aslinya, namun tetap saja terdapat beberapa masalah yang terjadi karena tidak semua bahan aslinya dalam keadaan utuh ataupun dapat ditemukan kembali. Faktor ini jelas merupakan sebuah hambatan dalam kaitannya dengan pelestarian BCB. Namun, perlu diingat bahwa sesungguhnya pemugaran itu berhubungan dengan upaya untuk menyelamatkan serta melestarikan apa yang masih tersisa dari suatu bangunan BCB (Suprapta, 1996:87).
Pemugaran bukan akhir dari upaya penyelamatan dan pelestarian BCB. Setelah pemugaran selesai maka akan dilanjutkan dengan pemeliharaan pascapemugaran, pemugaran bertujuan untuk merawat dan menjaga peninggalan BCB yang telah selesai dipugar agar tidak mengalami kerusakan lagi. Namun, jika melihat secara langsung apa yang terjadi saat ini sungguh ironis sekali sebab meskipun perawatan rutin telah dilakukan tetapi pada beberapa bagian terlihat kerusakan baru atau pada bagian lama yang rusak kemudian diperbaiki mengalami kerusakan lagi.
Masalah seperti ini terjadi karena beberapa sebab seperti keterbatasan sarana dan prasarana untuk perawatan akibat minimnya anggaran dari pemerintah dan juga standarisasi dari seorang juru rawat. Yang tak kalah penting adalah kurangnya kesadaran masyarakat dalam upaya menjaga dan melestarikan BCB, sehingga hal seperti ini patut mendapat perhatian lebih lanjut. Bahkan perlu dipupuk pula kesadaran rumangsa andharbeni (rasa memiliki) yang tinggi dari masyarakat (Sujud, 2005:100).
Program Kerja Pemugaran Situs Bekas Kota Majapahit di Trowulan
Sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 32 yang intinya adalah “Pemerintah Memajukan Kebudayaan Nasional”, maka Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur mulai melaksanakan pemugaran Situs Bekas Kota Majapahit di Trowulan. Sebagai usaha untuk melindungi dan melestarikan Benda Cagar Budaya tersebut dari kerusakan atau kemusnahan diadakannya penggalian serta pemugaran situs.
Situs Trowulan merupakan situs ibukota kerajaan Majapahit, di situs ini terdapat banyak sekali peninggalan-peninggalan Benda Cagar Budaya. Pelaksanaan pemugaran selama kurang lebih dua belas tahun dan dari enam belas situs telah selesai dipugar secara penuh lima situs, situs tersebut adalah situs Kolam Segaran(1983/1984), situs Candi Tikus(1983/1985 sampai 1988/1989), situs Gapura Bajang Ratu(1985/1986 sampai 1991/1992), situs Candi Brahu(1990/1991 sampai 1994/1995), dan situs Gapura Wringin Lawang(1991/1992 sampai 1994/1995). Kelima situs tersebut mulai dilakukan pemugaran mulai tahun anggaran 1983/1984 sampai 1994/1995 yang dimulai dengan perencanaan, pembebasan tanah, penanganan konservasi, dan pemeliharaan pasca konservasi.
Kegiatan pemugaran yang telah dilakukan sejak tahun anggaran 1974/1975, untuk mengatasi segala bentuk permasalahan kondisi keterawatan bahan bangunan yang digunakan secara sinkronik dilakukan penanganan konservasi. Seperti yang diketahui bahwa dengan diupayakan penanganan konservasi tidak berarti menghentikan secara total proses pelapukan yang terjadi, melainkan hanya bersifat menghambat. Sehingga upaya pemeliharaan secara rutin perlu dilakukan.
Pemugaran Situs Bekas Kota Majapahit di Trowulan
Sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi pada umumnya, maka sasaran kegiatan konservasi menyangkut beberapa aspek yang meliputi yaitu:
1. Perencanaan
2. Pembebasan lahan
3. Penanganan konservasi
4. Pemeliharaan pascakonservasi
Guna mendapatkan gambaran yang secara jelas mengenai upaya konservasi berikut ini adalah paparan data lengkap dari hasil kegiatan konservasi yaitu:
1. Perencanaan
Perencanaan dilakukan secara sistematis dan terintegrasi yang tertuang dalam bentuk “Rencana Induk Arkeologi Bekas Kota Kerajaan Majapahit” yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan tahun 1985. Secara garis besar perencanaan tersebut meliputi: deskripsi latar belakang, sosial-ekonomi dan budaya, kondisi geotopografis, konsep dan metode penataan situs dan bangunan, rencana penanganan bangunan dan penataan situs serta rencana jaringan jalan wisata budaya. Inti dari kegiatan ini adalah pemugaran dan konservasi yang dilakukan secara sinkronik.
Masing-masing bangunan telah dilakukan studi teknis yang dilakukan secara terperinci yang kemudian digunakan sebagai acuan dasar dalam pelaksanaan kegiatan pemugaran dan konservasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perencanaan dalam rangka pelestarian dan perlindungan secara mendasar telah dilakukan secara tepat waktu dan tepat guna.
- Pembebasan lahan
Pembebasan lahan beserta ganti rugi tanah dan bangunan, dimaksudkan karena disekitar candi diduga masih terdapat Benda Cagar Budaya lain yang masih terkubur atau masih tedapat bangunan lain yang merupakan satu kesatuan dari bangunan yang pertama ditemukan. Selain itu juga tujuan lain dilakukannya pembebasan lahan tersebut adalah untuk menentukan batas-batas lindung Benda Cagar Budaya sebagai usaha pelestariannya. Batas-batas tersebut adalah:
1. zona inti adalah zona cagar budaya atau situs
2. zona penyangga adalah zona disekitar cagar budaya atau situs yang berfungsi sebagai penyangga bagi pengembangan sekitar cagar budaya atau situs
3. zona pengembangan adalah zona yang dapat digunakan untuk dikembangkan untuk kepentingan sosial budaya sesuai prinsip pelestarian Benda Cagar Budaya.
Dengan demikian maka pelestarian dan perlindungan benda cagar budaya dapat berjalan dengan baik. Namun pada kenyataannya, ironis sekali karena berlangsungnya perluasan areal pemukiman serta pembuat batu bata liar yang tersebar di beberapa titik, tercatat sampai sekarang terdapat ± 4000 titik pembuat batu batu yang tersebar merata di tempat yang diduga mengandung tinggalan arkeologis.
3. Penanganan konservasi
Penanganan konservasi banyak macamnya yang didasarkan pada kondisi dan situasi pada masing-masing obyek dan kemampuan atau fasilitas. Kerusakan Benda Cagar Budaya berdasarkan sifatnya yaitu mekanis, khemis, dan biologis (Suyono, 1979:13). Berikut ini adalah penanganan yang dilakukan terhadap situs Bekas Kota Kerajaan Majapahit di Trowulan:
a. Pembersihan
Bahan bangunan yang digunakan di situs Bekas Kota Kerajaan Majapahit di Trowulan adalah batu bata yang sangat rentan sekali mengalami kerusakan. Perubahan lingkungan dan pertumbuh mikroba seperti jamur dan lumut akibat kondisi yang lembab akan mempercepat proses pelapukan. Pembersihan bertujuan untuk pemberantasan/penghambatan pertumbuhan mikroba, tanpa menimbulkan dampak negatif baik terhadap bahan bangunan yang digunakan maupun lingkungan sekitarnya. Pemberantasan atau penghambatan mikroba menggunakan Herbisida Hyvar X atau Hyvar XL yang disemprotkan pada batu bata.
b. Perbaikan
Teknis perbaikan meliputi penyambungan dan injeksi retakan yang ada akibat berbagai sebab. Hal ini wajar mengingat batu bata rentan sekali mengalami kerusakan. Tujuan utama dilakukan pembersihan adalah untuk mengembalikan kepada keadaan semula atau asli tanpa ada pemalsuan dan diusahakan tidak mengurangi nilainya.
Dalam menutupi hasil injeksi atau penyambungan dilakukan semacam kamuflase daerah sambungan batu bata yang patah atau retak dengan bahan mortar epoxy resi dan bubukan bata. Akan tetapi kamuflase yang dilakukan terhadap daerah yang dipatah atau retak tersebut mengalami perubahan warna atau diskolorisasi.
c. Penggantian komponan bahan bangunan
Batu bata atau bahan bangunan lainnya yang sudah tidak ada atau secara teknis tidak bisa digunakan lagi karena telah rapuh maka diganti dengan bahan baru berdasarkan hasil rekontruksi arkeologi(system anatilose). Kualitas batu bata pengganti pada Candi Tikus kurang baik sedangkan untuk candi-candi lainnya relatif cukup baik. Selain karena tekstur bahan tidak homogen, kualitas pembakaran juga kurang baik. Pada umumnya batu bata yang digunakan banyak tercampur dengan fragmen gerabah kuno. Hal ini wajar karena sebagian besar batu bata yang digunakan berasal dari pembuat batu bata disekitar situs Trowulan.
d. Pengunaan lapisan kedap air
Untuk kepentingan pelapisan kedap air digunakan bahan Araldite Tar Tipe XH 351 yang terdiri atas dua komponen yaitu resin dan hardener. Penggunaan jenis bahan ini dimaksudkan untuk menanggulangi masalah kapilarisasi air. Metode ini diterapkan pada masing-masing candi yang dipugar, kecuali Kolam Segaran. Karena metode ini dilakukan secara parsial maka aplikasi bahan hanya dilakukan secara selektif saja yaitu sebagian tepi bangunan yang dibongkar. Hasil observasi menunjukan bahwa hasilnya masih cukup efektif.
e. Penggunaan bahan penolak air
Penggunaan bahan penolak air bertujuan untuk menjaga agar tidak terjadi pertumbuhan mikroba setelah dilakukan pembersihan. Hal ini dikarenakan batu bata mudah menmyerap air dan lama mengering sehingga kondisinya menjadi lembab. Bahan yang digunakan adalah silicosol yang dioleskan pada seluruh permukaan batu bata. Untuk menilai efektifitas bahan yang digunakan ditempuh tiga cara yaitu atas dasar kandungan air pada permukaan bata dengan alat Protimeter, beading test, dan pengamatan secara langsung dalam kaitannya dengan pertumbuhan mikroba.
Berdasarkan hasil pengamatan setelah dilakukan pelapisan silicosol pada batu bata menunjukkan kandungan air secara langsung pada permukaan bata dapat dikatakan kondisinya relatif kering dengan kandungan air maksimum 15 pada skala Protimeter (SP) dan hasil pengujian beading test yang dilakukan secara random pada umumnya menunjukkan hasil efektif.
Pengecualian untuk Kolam Segaran dan Candi Tikus, Kolam Segaran pada saat pemugarannya belum menggunakan sistem kedap air dan penolak air sehingga populasi pertumbuhan mikroba khususnya gulma air cukup besar. Pada candi tikus ternyata sudah tidak efektif lagi hal ini terjadi karena dosis dan penggunaan yang tidak sesuai, sebagian besar pelapisannya tidak merata dan itupun juga hanya pada satu sisi saja. Akibatnya pada sisi yang tidak terlapisi akan melapuk perlahan dengan cara mengelupas.
f. Sistem finishing rekonstruksi bata
Sesuai dengan kesepakatan arkeologis penyelesaian bata baru pengganti bata yang telah rusak adalah menggunakan pola acak. Hanya saja perlu pertimbangan lagi dari aspek arkeologisnya mengingat untuk bidang-bidang panjang penerapan pola acak tersebut ternyata menjadi tidak acak lagi tetapi berubah menjadi keteraturan. Namun yang patut diperhatikan adalah pembedaan antara batu bata pengganti dengan batu bata aslinya.
Data Penanganan Bangunan*
Nama Bangunan | STD | PEMB | PERB | KONS | KDA | PENG | PNA |
Candi Tikus | X | X | X | X | X | X | X |
Gapura Bajangratu | X | X | X | X | X | X | X |
Candi Brahu | X | X | X | X | X | X | X |
Gapura Wringin Lawang | X | X | X | X | X | X | X |
Kolam Segaran | X | X | X | X | - | X | X |
Keterangan
STD : Studi teknis
PEMB : Pembersihan
PERB : Perbaikan
KONS : Konsolidasi
KDA : Kedap air
PENG : Penolak air
PENG : Pengawetan
* Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Bekas Kota Majapahit 1994/1995. Laporan Evaluasi Hasil Pemugaran Bekas Kota kerajaan Majapahit. Mojokerto: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
4. Pemeliharaan pascakonservasi
Setelah penangan konservasi selesai maka penangan selanjutnya adalah perawatan rutin yang dilakukan oleh juru pelihara untuk setiap bangunan. Seorang juru pelihara tugas pokoknya adalah memelihara bangunan kepurbakalaan, menjaga keutuhan benda-benda cagar budaya yang ada, dan memberikan laporan perkembangan bangunan kepurbakalaan kepada instansi terkait setiap satu atau tiga bulan sekali. Perawatan rutin untuk pemeliharaan dilakukan secara sederhana seperti pembersihan bangunan dan lingkungan sekitarnya, sehingga kondisi dari bangunan akan tetap terjaga dengan baik.
Kolam Segaran yang kondisinya tergenang air perawatan rutin dilakukan pada bagian-bagian batu bata yang ditumbuhi gulma air dengan cara pembersihan rutin. Sedangkan pada candi Tikus dilakukan upaya pengeringan dasar bangunan yang tergenang air secara berkala attaupun pembuatan saluran air bawah tanah ke arah timur candi Bajangratu yang berupa cekungan untuk mengalirkan air yang menggenang.
Kondisi Keterawatan Candi Tikus*
NO. | Parameter Yang Diamati | Sebelum Konservasi % | Setelah Konservasi % |
1 | Kerapuhan | 20 | 8,3 |
2 | Endapan garam | 8,3 | 4,4 |
3 | Pertumbuhan algae | 12,5 | 11,8 |
4 | Pertumbuhan moss | 12,5 | 47 |
5 | Pertumbuhan lichen | 12,5 | 5,1 |
6 | Kelembapan bata | 54 | 21 |
Kondisi Keterawatan Gapura Bajangratu*
NO. | Parameter Yang Diamati | Sebelum Konservasi % | Setelah Konservasi % |
1 | Kerapuhan | 20 | 3,5 |
2 | Endapan garam | 3 | 4,5 |
3 | Pertumbuhan algae | 57 | 2 |
4 | Pertumbuhan moss | 1 | < 1 |
5 | Pertumbuhan lichen | 40 | < 1 |
6 | Kelembapan bata | 65 | 15 |
Kondisi Keterawatan Candi Brahu*
NO. | Parameter Yang Diamati | Sebelum Konservasi % | Setelah Konservasi % |
1 | Kerapuhan | 44 | 7,1 |
2 | Endapan garam | 8 | 5,7 |
3 | Pertumbuhan algae | 63 | 3,5 |
4 | Pertumbuhan moss | 28 | 0 |
5 | Pertumbuhan lichen | 62 | 0 |
6 | Kelembapan bata | 35 | 15 |
Kondisi Keterawatan Gapura Wringin Lawang*
NO. | Parameter Yang Diamati | Sebelum Konservasi % | Setelah Konservasi % |
1 | Kerapuhan | 4 | 7,1 |
2 | Endapan garam | 1 | 10,7 |
3 | Pertumbuhan algae | 35 | 7,1 |
4 | Pertumbuhan moss | 17 | < 1 |
5 | Pertumbuhan lichen | 25 | < 1 |
6 | Kelembapan bata | 60 | 20 |
Kondisi Keterawatan Kolam Segaran*
NO. | Parameter Yang Diamati | Sebelum Konservasi % | Setelah Konservasi % |
1 | Kerapuhan | 35 | 8,3 |
2 | Endapan garam | 5 | 4,4 |
3 | Pertumbuhan algae | 85 | 11,8 |
4 | Pertumbuhan moss | 60 | 47 |
5 | Pertumbuhan lichen | 15 | 5,1 |
6 | Kelembapan bata | Sangat lembab | Lembab |
* Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Bekas Kota Majapahit 1994/1995. Laporan Evaluasi Hasil Pemugaran Bekas Kota kerajaan Majapahit. Mojokerto: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kesimpulan
Masalah kepribadian nasional adalah bagian dari kesadaran jatidiri bangsa yang diwujudkan sebagai kebudayaan nasional. Pemugaran situs bekas kota kerajaan Majapahit di Trowulan merupakan bentuk dari sikap positif terhadap pelestarian benda cagar budaya. Warisan sejarah yang sangat tinggi nilainya ini adalah jatidiri bangsa.
Pemugaran memiliki fungsi sebagai usaha untuk melindungi dan menjaga agar Benda Cagar Budaya tidak mengalami kerusakan lebih lanjut. Dan konservasi bertujuan lebih kepada pengawetan tehadap bahan bangunan agar lebih tahan lama dan tidak cepat mengalami pelapukan. Upaya-upaya pemugaran situs Bekas Kota Kerajaan Majapahit meskipun sudah berjalan selama 12 tahun dengan berhasil memugar lima situs. Namun pada akhirnya itu bukan akhir dari pemugaran akan tetapi masih terus dilakukan terus pemugaran terhadap situs Bekas Kota Kerajaan Majapahit lainnya secara bertahap dan berkelanjutan.
Setelah pemugaran selesai dilakukan pemeliharaan pascakonservasi perlu dilakukan untuk merawat secara rutin situs-situs yang telah dipugar agar lebih terawat. Namun pada kenyataannya kegiatan pascakonseravasi terhambat akibat dari keterbatasan. Keterbatasan tersebut adalah keterbatasan sarana dan prasarana akibat minimnya anggaran, keterbatasan tenaga juru rawat yang memenuhi stantar yang ditetapkan dan juga keterbatasan pemahaman akan hakikat pelestarian benda cagar budaya yang dimiliki yang berakibat kurangnya peran serta masyarakat terhadap pelestarian benda cagar budaya.
Masalah seperti ini bukan harus dilimpahkan kepada pemerintah saja namun juga diperlukan kesadaran dan peran serta masyarakat untuk menjaga dan memelihara peninggalan kepurbakalaan. Masyarakat harus menyadari pentingnya tinggalan budaya masa lampau bagi sejarah suatu bangsa. Keterbatasan adalah bukan menjadi penghalang.
DAFTAR RUJUKAN
Asmar, T. 1982. Pemeliharaan Dan Perlindungan Benda-Benda Sejarah dan Purbakala. Jakarta: Palem Jaya.
Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Bekas Kota Kerajaan Majapahit 1983-1995. Upaya Pelestarian Situs Kota Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Mojokerto: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Bekas Kota Majapahit 1994/1995. Laporan Evaluasi Hasil Pemugaran Bekas Kota kerajaan Majapahit. Mojokerto: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Soekmono, R.1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta: Kanisius.
Sujud P.J., S. 2005. Pelaporan Dan Penanganan Temuan Benda Cagar Budaya. Sejarah. 11 (2): 93-101.
Suprapta, B. 1996. Pelestarian Benda Cagar Budaya. Sejarah, 2 (3): 84-92.
Suyono, 1982. Methode Konservasi Peninggalan Keperluan Kepurbakalaan. Jakarta: Palem Jaya.
Tjandrasasmita, U. 1982. Pencegahan Terhadap Pencemaran Peninggalan Sejarah Dan Kepurbakalaan Sebagai Warisan Budaya Nasional. Jakarta: Palem Jaya.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1992, tentang Benda Cagar Budaya.1992. Jawa Timur: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala.
—–, 2008. Agenda Terbaru: Perlindungan/Pelestarian Situs Purbakala, (http://www.purbakala.jawatengah.go.id. diakses 8 Juli 2010).
Sebelumnya upaya melindungi dan melestarikan benda cagar budaya dari kerusakan atau kemusnahan sudah ditetapkan dalam Monumenten Ordonnantie Nomor 19 Tahun 1931 (Staatsblad Tahun 1931 Nomor 238), sebagaimana telah diubah dengan Monumenten Ordonnantie Nomor 21 Tahun 1934 (Staatsblad Tahun 1934 Nomor 515) yang pada akhirnya diganti menjadi dalam UU RI No 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1992, tentang Benda Cagar Budaya.1992. Jawa Timur: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala.
Kebudayaan nasional ialah kebudayaan yang timbul sebagai usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju kea rah kemajuan, adab, budaya, dan persamaan, dengan tidak menolak bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusaiaan Indonesia.
Van_nder