Pagi itu, di antara ratusan pengunjung FHP Al Azhar, ada sepasang suami istri, Ibu Nurmeitiara bersama suaminya Bapak Anang Hanggoro . Telah beberapa lama, secara pribadi, mereka menggunakan Dinar dan Dirham. Kali ini, mereka datang dari Banda Aceh, untuk merasakan bertransaksi dengan Dinar dan Dirham.
Perjumpaan mereka dengan pengurus WIN di pasar berlanjut dengan niat mereka untuk turut menyebarluaskan pemakaian Dinar dan Dirham di bumi Nanggroe Aceh Darussalam. Dan pada Senin, 27 Desember 2010, berdirilah Wakala Nanggroe Darussalam.
Ini menandai kembalinya koin-koin emas dan perak ke salah satu bumi asalnya. Meskipun, kita tahu, koin emas Aceh belum memenuhi standar syar'i. Sampai saat ini, emas sebagai alat tukar di Aceh dikenal dengan sebutan mayam, yang terdiri atas dua jenis, yaitu mayam barat dan mayam timur, yang merujuk kepada satuan emas seberat 3 gr dan 3.3 gr. Di zaman Sultan Iskandar Muda koin emas di Kesultanan Aceh justru dikenal dengan sebutan dereuham, dan hanya berkadar 18 karat.
Tradisi untuk menggunakan emas dalam transaksi sehari-hari di kalangan masyarakat Aceh sendiri sebenarnya juga tak terlalu asing, dan masih berlangsung sampai hari ini. Beroperasinya Wakala Nanggroe Darussalam sekaligus meluruskan standar koin emas di Aceh untuk sesuai dengan ketetapan syariat Islam.
Kedai Kopi, Juga untuk Syiar Dinar Dirham Aceh
Salah satu tempat populer bagi warga Banda Aceh adalah kedai kopi. Maka, kedai kopi adalah tempat yang paling mudah ditemui di seluruh pelosok Banda Aceh. Di sini warga datang bukan cuma sekadar mau menikmati secangkir kopi, dengan segala panganan yang menemaninya, tapi bagi warga Banda Aceh tempat inilah salah satu medium untuk sosialisasi masyarakat. Berbagai topik mereka bicarakan, mulai dari masalah pribadi hingga masalah politik.
Salah satu kedai kopi yang cukup terkenal di Banda Aceh adalah Solong, yang berada di Ulee Kareeng, sudah pasti dengan kopi tariknya yang khas Aceh. Setiap hari, dari jam 6 pagi sampai sore harimenjelang magrib, Kedai Solong selalu ramai dikunjungi masyarakat.
Bukan Cuma warga Banda Aceh tetapi juga para pengunjung dari luar, hampir dari segala lapisan. Jangan heran kalau sewaktu-waktu menemukan para pejabat, baik daerah maupumn dari Jakarta, Nampak lagi santai ngopi di situ. Juga orang-orang bule tak jarang nyantai di sini pula .
Begitulah, pagi itu rombongan WIN, yang ditemani oleh Bpk Muzaffar Daud dari Baznas, tengah ngopi di sana. Tak direncenakan terjadi pertemuan dengan Bpk Drs H Saifuddin Abdurrahman, SMPH, M.Kes, Direktur Rumah Sakit Jiwa Pemda Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Beliau adalah juga mantan bupati di salah satu kabupaten di NAD juga.
Sesudah bersalaman, berkenalan, terjadilah transmisi pengetahuan tentang muamalat dan pentingnya kembalinya Dinar emas dan Dirham perak, khususnya bagi rakyat Aceh. Pak Saifuddin pun langsung duduk di meja rombongan WIN, yang di antaranya ada Pak ZaiM Saidi dan Pak Abdarrahman Rachadi. Pembicaraan pun berlangsung cukup panjang, termasuk hal-hal teknis.
Pak Saefuddin pun menyatakan minatnya untuk turut berupaya menyebarluaskan sunnah yang telah lama hilang tersebut, antara lain melaui kemungkinan pengoperasian sebuah wakala di Banda Aceh.