Meriam Lada Sicupak, Jejak Turki di Bumi Peureulak

MERIAM sepanjang dua meter dengan balutan kain putih tampak gagah di bawah atap seng yang dipugar di Desa Blang Balok, Kecamatan Peureulak Kota, Aceh Timur. Meriam itu kini menyimpan sejuta kenangan bagi para laskar Aceh, yang berperang saat melawan kaum kolonial Portugis dan Belanda. Meriam yang sudah dikilatkan dengan minyak itu, salah satu bukti sejarah mengendus jejak bangsa Turki di bumi Peureulak, bekas kerajaan Islam yang pernah tersohor dahulu.






Meriam Lada Si Cupak
Meriam itu diberi nama dengan sebutan “Meriam Lada Sicupak” yang dibeli dari negeri Turki oleh sepuluh laskar Kerajaan Aceh di bawah komando Panglima Nyak Dum. Penambalan nama Lada Sicupak lantaran meriam itu satu unitnya seharga sicupak lada yang diangkut dengan kapal dari Aceh.



Dulu, banyak yang tidak tahu tentang keberadaan “Meriam Lada Sicupak” ini, meski tempatnya hanya sekitar 3 Km dari jalan raya di Desa Blang Balok, Peureulak Kota. Arah masuknya persis di bawah jembatan trans nasional Kampung Beusa tembus ke Kuala Beukah. Darmawan atau yang sering disapa Yahwan, pengurus meriam saat ditemui Serambi, Sabtu (23/1) menceritakan, meriam itu berdasarkan cerita sejarah, sudah ada di bumi Aceh sejak 1.568 M. Ada pula yang menyebutkan sudah ada pada abad ke-XVI.


Konon kabarnya senjata canggih tersebut dibeli pada masa Sulthan Alighayatsyah Al-Kahar. Masa itu, sebanyak sepuluh orang laskar (tentara) diutus untuk membeli meriam di negara Turki, termasuk di dalamnya Panglima Nyak Dum. Menurut Yahwan, selama pengamatannya memang tidak ada merk khusus yang dibuat oleh asal perusahaan meriam Turki. Dulu laskar yang dipimpin oleh Panglima Nyak Dum dalam perjalanan ke Turki sempat terombang ambing di lautan hingga pernah terdampar ke India, bahkan lada yang dibawa untuk membeli meriam banyak yang terjatuh dan digunakan untuk membeli kebutuhan makanan. Di seluruh Aceh meriam itu ada 25 unit.


“Tapi kita tidak tahu lagi ke mana yang lain, nama meriam dilabalkan “lada sicupak” karena saat dibeli untuk satu meriam harganya sicupak lada yang dibawa khusus dari Aceh,” jelasnya. Saat perang Portugis, sebut Yahwan, meriam itu masih aktif, sementara pada masa kolonial Belanda meriam tersebut tidak difungsikan dan jejaknya sempat tidak diketahui lagi. Yang ada hanya tinggal hikayah saja di tengah- tengah masyarakat. Namun secara mengejutkan, pada tahun 1976 tepatnya hari Selasa tanggal 15, meriam itu ditemukan kembali oleh almarhum Tgk Muhammad Ben, dalam tanah dengan keadaan tertanam.


“Seminggu setelah menemukan itu, sang penemu Tgk Muhammad Ben mengalami gangguan jiwa, sehingga terpaksa dirantai. Ketika itu oleh Tgk Arifin Amin (peneliti sejarah di Peureulak) meminta meriam dibawa ke Desa Paya Meuligoe untuk dipeusijeuk, dan tahun 1989 dibawa ke PKA di Banda Aceh,” katanya.



Setelah sempat dipamerkan di arena PKA, meriam itu dibawa kembali ke Desa Blang Balok, tempat asal ditemukan. “Tahun 1996 saya bawa meriam ke depan masjid dengan becak. Tahun 2000 konflik bersenjata dan rencana saya kalau sudah aman akan saya pugar kembali,” katanya. Niat untuk memugar tenyata kesampaian, genderang damai yang ditandai penandatanganan MoU antara RI dan GAM di Helsinki memberanikan Yahwan pada tahun 2006 menghadap Gubernur untuk meminta benda sejarah itu dipugar kembali. Melalui Dinas Kebudayaan akhirnya dibantu lokasi pemugaran berupa pagar dan lahan penempatan meriam asal Turki.


“Tapi rumah Aceh yang sejatinya dibangun tidak dibangun, saya tidak tahu kenapa. Jika sudah dibangun rumah Aceh, meriam akan kami tempatkan di bawah rumah saja,” katanya. Meriam yang kini diletakkan di sisi kiri jalan desa Blang Balok itu merupakan alat perang yang dipicu dengan belerang dan mesiu. Dalam hikayah, meriam itu hanya dibawa oleh dua laskar, padahal bobotnya sangat berat.


(iskandar usman al-farlaky)