JAM sudah menunjukkan pukul 10 pagi, keadaan cuaca di hari kamis (15/7) itu pun sangat cerah. Saya bersama seorang teman yang kebetulan sedang berada di Jakarta ingin sekali melakukan perjalananan ziarahnya ke makam pahlawan wanita Aceh Cut Nyak Dhien.
Sumedang, itulah kota kecil di Jawa Barat yang merupakan tempat dimana Cut Nyak Dhien melabuhkan pengistirahatan terakhirnya pada tanggal 6 Nopember 1908.
Hari itu pula saya beserta rekan seperjuangan saat waktu SMA dulu melakukan perjalanan menuju ke Sumedang.
Dari Depok ke Sumedang membutuhkan waktu setengah hari, walaupun terbilang masih awam dengan lokasi yang akan dikunjungi karena tidak ada peta atau guide yang bisa mendampingi perjalanan kami, akhirnya bisa tercapai juga dengan modal nekat plus bertanya-tanya agar tidak sesat di jalan.
Sambung menyambung dari satu kendaraan ke kendaraan yang lain, Leuwipanjang, lalu ke Cicaheum dan terakhir berlabuh di perempatan kota kecil Sumedang (tarahu-tarahu kang). Memang sungguh melelahkan, tapi dibalik itu semua rindu hati untuk berziarah ke makam sang pahlawan terobati sudah.
***
Kaki pun melangkah dari jalan yang sempit di tengah kota kecil Sumedang, terlihat disebuah papan yang lusuh tertuliskan “Makam Cut Nyak Dhien 100 meter”, lalu kami pun tambah bertanya lagi mengikuti arah jalan tersebut.
Saut-sautan azan magrib di kota yang terkenal dengan makanan cemilan tahu ini ternyata menyambut kedatangan kami berdua.
Tanpa berlama-lama, langkah kaki pun kami percepat. Karena suara azan yang terdengar makin dekat searah kami berjalan. Setelah sampai di komplek makam, kami pun memastikan kalau disitu adalah tempat yang kami tuju dan si akang tukang somay pun mengamininya sambil menunjukkan arah makam ke belakang bukit.
Menaiki beberapa puluh anak tangga, dan disana berkumpul para ibu-ibu paruh baya yang sedang duduk sambil bersantai ria dengan teman-teman sejawatnya, sapa dan salam pun hormat pun tentunya tidak lupa kami berikan kepada ahlal kubur (penghuni kubur).
Dari tempat berkumpulnya ibu-ibu di atas bukit itu, mereka menunjukkan arah kepada kami makam Cut Nyak Dhien yang berada tepat di bawah bukit. Suasana di komplek makam semakin gelap, suara takbir dari berbagai mushalla dan mesjid terus mengumandang.
Langsung kami bergegas menuju ke bawah bukit, dan disana yang kami temui hanya pintu gapura yang tertulis jelas makam Cut Nyak Dhien. Tapi sayang pintu masuk ke makam sudah terkunci, karena kami tahu bahwa jam kunjung sudah habis sepertinya.
Namun, keberuntungan tidak hilang begitu saja. Seorang wanita paruh baya ternyata menghampiri kami dan menanyakan tujuan kedatangan kami. Lalu kami ceritakan secara singkat, dan wanita itu akhirnya menawarkan untuk mencari si bapak yang memegang kunci walaupun langit malam sudah mulai hitam pekat.
Tidak lama menunggu sekitar 10 menit, lalu datanglah seorang bapak dengan peci putihnya lalu memanggil kami untuk masuk lewat pintu samping, si bapak itu bernama Bapak Ace (begitulah panggilannya menurut keterangan istrinya Bu Kokom).
Sambutan khas dengan logat sundanya memang kerasa dari omongan Pak Ace, lalu kami pun bergegas ke toilet sekalian untuk berwudhu menunaikan shalat magrib. Tepat di dalam komplek makam Cut Nyak Dhien terdapat sebuah meunasah (tempat shalat dalam bahasa Aceh) yang dikhususnya bagi penziarah untuk beribadah.
Kurang Perhatian
Setelah menunaikan shalat magrib, saya pun tidak ingat kalau ternyata malam itu tepat jatuhnya malam jum’at kliwon, panteslah banyak orang yang berkunjung ke atas bukit (karena terdapat makam keramat).
Lekas, saya pun tahu akhirnya karena melihat kawan sedang yasinan dan karena berhubung berada di tengah-tengah kawanan kuburan saya pun melepaskan beberapa do’a untuk semua ahlal kubur.
Setelah prosesi berdo’a dan yasinan pun selesai, saatnya kami untuk mengabadikan beberapa gambar dekat makam, keadaan malam yang semakin gelap memberikan suasana yang begitu tenang. Di temani oleh bu Kokom, beliau pun hanya duduk sambil sesekali menjawab pertanyaan dari kami.
Walaupun bu Kokom bukan seorangkuncen di komplek pemakaman para bangsawan pangeran Sumedang jaman dulu. Orang Sumedang, dulunya mengenal Cut Nyak Dhien dengan sebuah sapaan Parbu atau Ratu.
Menurut keterangan bu Kokom, ikhwal harumnya pusara Cut Nyak Dhien pada setiap pagi memang betul adanya. Dan itulah yang selalu bu Kokom rasakan ketika membersihkan makam saban hari dari debu dan sebagainya.
Kalau pun Anda sering menyimak atau membaca berbagai tulisan tentang Cut Nyak Dhien setelah diasingkan oleh Belanda ke Sumedang, memang sangat terlihat batin Cut Nyak Dhien sangat berat untuk meninggalkan Aceh. Dalam benaknya masih terbayang perjuangan suami pertamanya Teuku Ibrahim Lamnga serta suami keduanya Teuku Umar.
Setelah sempat mengalami kebutaan di usianya yang semakin tua, Cut Nyak Dhien akhirnya bisa sembuh lagi berkat pertolongan dari seorang dokter dari Belanda untuk menyembuhkan sakit beratnya. Tapi, semangat Cut Nyak Dhien untuk memerangi kaphe Belanda tidak pernah padam. Takutnya Belanda dengan semangat perlawanan akan muncul kembali pada pengikutnya, akhirnya dibuanglah ke Sumedang, Jawa Barat.
Karena umur dan kondisi tubuh yang serba melemah, Cut Nyak Dhien hanya bisa berdo’a dan tidak lepas memohon kepada Allah agar Aceh terhindar dari penjajah kaphe Belanda.
Cerita biografi Cut Nyak Dhien pernah diangkat oleh M.H. Szekely Lulofs dalam sebuah buku “Cut Nyak Dien: Kisah Ratu Perang Aceh“.
Ternyata ada sebuah keluh kesah yang sempat disampaikan oleh bu Kokom, bahwa Pemerintah Aceh setelah dipugarnya makam tersebut sekitar tahun 1987 oleh Gubernur Aceh pada masa itu Ibrahim Hasan, sampai saat ini tidak ada sepeser pun yang mereka terima untuk mengurusi makam tersebut dari hari ke hari (jelas ini menjadi bentuk keprihatinan dari Pemerintah Aceh terhadap situs sejarah Pahlawannya di tanah Jawa Barat).
Sementara, yang masih menjadi juru kunci hampir lebih dari 30 tahun di makam Cut Nyak Dhien ini masih dipercayai kepada Pak Nana (keterangan dari bu Kokom), yang merupakan masih bagian dan keturunan erat dari pemilik tanah makam tersebut yakni keluarga H. Sanusi.