Setiap bangsa di belahan bumi Allah ini memiliki peradaban atau budaya tersendiri, hanya tergantung seberapa tinggi nilai dan pengaruhnya. Orang Eropa menganggap peradabannya lebih tingggi dan maju, dan bangsa yang mendiami belahan bumi lainya berperadaban rendah. Sah saja bukan? Sangat tepat! Tergantung siapa penilainya. Begitu juga di nusantara. Namun, tetap saja budaya atau peradaban setiap bangsa sama tingginya seiring dengan perjalanan waktu, kondisi dan tempat komunitas tersebut berada.
Budaya, secara harfiah merupakan buah pikiran, akal budi senantiasa berproses dan berinteraksi antara manusia dengan lingkungan serta ruang waktu, pada muaranya nanti akan menghasilkan kebiasaan, karya, karsa ideal yang menjangkau antar generasi dan dimensi. Setelah mengalami berbagai proses, hasil budaya itu dapat dinikmati, bermanfaat dan menjadi acuan standar harkat dan martabat suatu bangsa dalam membangun peradaban (civilization).
Masyarakat Aceh sampai kini sangat kuat dipengaruhi keagungan dan keemasan masa lampau itu. Zaman keemasan kesultanan masa lalu diwariskan turun-temurun dalam masyarakat Aceh, seperti bagaimana hebatnya Sultan Iskandar Muda mempertahankan adat, sehingga lahir hadih maja “mate aneuk meupat jeurat, mate adat pat keuh tamita”.
Aceh bermata uang emas dan mahir dalam bidang perdagangan. Hal itu selalu menggelitik memori kolektif masyarakat Aceh tentang bagaimana mengembalikan kejayaan Aceh masa lampau. Aceh mempunyai heroisme tersendiri, penduduk Aceh di zaman kebesaran Kesultanan Samudera Pasai dengan penduduknya sekitar 40.000-50.000, yang sebagiannya pendatang dari India Selatan, seperti daerah Madras, Bombai, dan Sri Lanka, lalu berasimilasi dengan kebudayaan setempat. Karakter penduduk Aceh banyak kesamaan dengan India, mengakibatkan budaya Aceh tidak bisa disamakan dengan budaya Melayu Raya secara keseluruhan.
Adat Aceh sebagai aspek peradaban yang tidak identik dalam pemahaman budaya pada umumnya, karena segmen-segmen integritas bangunan adat juga bersumber dari nilai-nilai agama atau syariat yang menjiwai kreasi budayanya. Adat ngon agama lagee zat ngon sifeut.
Roh Islami ini telah menjiwai dan menghidupkan budaya Aceh, sehingga melahirkan nilai-nilai filosofis, yang akhirnya menjadi patron landasan Budaya Ideal, dalam bentuk hadih Maja, “Adat Bak Poe Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun Bak Putroe Phang, Reusan Bak Lakseumana”.
Po Teumeureuhom, lambang pemegang kekuasaan. Syiah Kuala, lambang hukum syari‘at atau agama dari ulama. Qanun, perundang-undangan yang benilai agama dan adat dari badan legeslasi. Reusam merupakan tatanan protokuler atau seremonial adat istiadat dari ahli-ahli atau pemangku adat. Pengembangan nilai-nilai tatanan ini mengacu kepada sumber asas yaitu, “hukum ngon Adat, lagee zat ngon Sifeut “
Mengacu pada hadih maja ini maka budaya mengandung dua sumber nilai, yaitu, pertama, nilai adat istiadat, yaitu format seremonial, prilaku ritualitasi, keindahan, seni apresiasi dalam berbagai format upacara dan kreasi. Kedua, nilai normatif atau prilaku hukum adat, yaitu format materi aturan dan bentuk sanksi-sanksi terhadap pelanggar-pelanggaran. Karena istiqamah dan konsisten dengan nilai-nilai filosofis hadih maja ini, maka implimentasi budaya Aceh telah mengangkat harkat dan martabat bangsa Aceh untuk diperhitungkan oleh dunia internasional yang bertitik sentral pengembangan pada meunasah dan mesjid.
Budaya adat Aceh sarat nilai-nilai Islami, sehingga dalam pengembangan budaya adat berpegang kepada beberapa asas, antara lain, setia kepada aqidah Islami, bersifat universal atau tidak ada pertentangan antar agama, bangsa dan suku, kebersamaan, gotong royong, panut kepada pemimpin, cerdas membaca dan menulis.
Pertumbuhan budaya adat Aceh, menghadapi tantangan rongrongan budaya global (globalisasi), maka wujud budaya idealis akan mudah adaptatis, akselirasasi dan berakumulasi secara kompetitif dan terprogram dan terstruktur.
E.B.Taylor dalam bukunya: Primitive Culture, Boston, 1871, menjelaskan Budaya adalah suatu peradaban yang mengandung berbagai nilai ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasan dan berbagai kemampuan rekayasa (keterampilan) seseorang dalam lingkungan masyarakat di mana dia berada.
Abidin Hasyim bilang, kebudayaan Aceh telah menemukan identitasnya yang bernafas keislaman, bahkan telah mengakar. Sistem tatanan nilailah yang menjadi tolak ukur penyaringan dan pembendungan pengaruh baru dari luar, dan dengan sendirinya terjadi proses pemilahan mana yang bisa diterima dan mana tidak di kalangan masyarakat Aceh.
Soejito Sastrodiharjo, dalam tulisannya “Hukum Adat dan Realitas Penghidupan” yang selaras dengan pandangan Kluckhohn, yang mengatakan nilai itu merupakan “a conception of desirable”. Pada nilai ada beberapa tingkatan, yaitu nilai primer dan nilai sekunder. Nilai primer merupakan pegangan hidup bagi suatu masyarakat yang bersifat abstrak, misalnya, nilai kejujuran, keadilan, keluhuran budi dan lain-lain.
Sedangkan nilai sekunder adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan kegunaan, misalnya dasar-dasar menerima keluarga berencana atau untuk memecahkan persoalan kepadatan penduduk yang sedang dihadapi, namun pascakonflik dan tsunami nilai itu harus diabaikan masyarakat Aceh, karena penduduk lokal semakin berkuarang populasinya.
Nilai sekunder muncul sesudah penyaringan nilai primer. Misalnya saja kemajuan yang dicapai oleh Jepang sekarang ini disebabkan karena pemerintah Jepang berhasil mempertahankan nilai-nilai primernya, tetapi mengubah nilai-nilai sekundernya (M. Syamsuddin, Hukum Adat dan Modernisasi Hukum).
Menggali Kebudayaan Aceh
Banyak adat istiadat, budaya dan keterampilan masyarakat Aceh yang “tergilas” roda perkembangan zaman, sehingga diperlukan penelusuran kembali. Upaya tersebut sangat penting maknanya bagi keberlangsungan kehidupan budaya Aceh di masa mendatang. Adapun beberapa kebiasan masyarakan Aceh yang harus tetap ada dan lestari, di antaranya, upacara perkawinan, upacara kelahiran bayi yang di dalamnya mencakup cukur rambut, hakikah, turun tanah dan upacara peusijuk (tepung tawar).
Saat ini para pemerhati sejarah dan Kebudayaan Aceh mulai gerah dan khawatir dengan semakin memudarnya perhatian masyarakat sendiri terhadap identitas adat dan budaya khas Aceh. Bahkan sebagian menganggap adat dan Bahasa Aceh itu primitif seperti tulisan yang diturunkan situs internet krueng.org.
Bertolak dari kenyataan itu, maka generasi muda sekarang harus memiliki tekad bulat berupaya membentuk watak cinta budaya guna melestarikan dan menghidupkan kembali adat istiadat Aceh yang pernah jaya di masa lampau dengan segala perangkatnya.
Peran generasi muda sangat besar untuk menjajaki napak tilas berbagai adat-istiadat yang pernah berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh yang beraneka ragam (diferensiasi) seperti dapat disaksikan dalam berbagai tradisi yang semakin langka saat ini seperti, adapt-istiadat yang terdapat dalam upacara perkawinan, kelahiran bayi, peusijuk, khanduri moulod, khanduri blang, khanduri laot, nuzulul Qur’an, khanduri koh kayee (cah uteun) dan menempati rumah baru, dan lain-lain.
Semua kebiasaan itu perlu diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat berkaitan pemberlakuan syariat Islam berdasarkan UU No.44/1999 dan UUPA tentang penyelenggaraan keistimewaan Aceh di bidang agama, pendidikan peranan ulama dalam pemerintah dan adat istiadat.
Banyak bentuk adat budaya yang relevan untuk dikembangkan, seperti ornamen atau kaligrafi, rumah adat, meunasah, kesenian dalail khairat, zikir berdhanji, perhiasan, emas perak, keramik dan ukiran-ukiran di berbagai monumen dan batu nisan.
Dalam bidang seni budaya, masyarakat Aceh juga terdapat banyak jenis tari-tarian yang disenangi penggemarnya baik di Indonesia, bahkan dunia internasional. Tarian yang populer di Aceh antara lain saman Gayo, seudati, rapa’i geleng, tob daboh, didong Gayo, surunei kalee, ranub lampuan, silat dan likok pulo. Jenis tari-tarian sangat populer dalam masyarakat, dan bahkan telah dipromosikan secara nasional dan internasional seperti Malaysia, Jepang, Belanda, Spanyol dan Amerika Serikat di masa pemerintahan Gubernur Ibrahim Hasan.
Menduniakan Kembali Peradaban Aceh
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu memelihara dan menumbuhkembangkan adat istiadat sesuai dengan tuntutan zaman. Begitu juga dengan Aceh, dalam tatatan masyarakat yang heterogen seperti ini, maka terdapat dua kawasan yang perlu dicanangkan pengembangan apresiasi adat, di mana para tokoh adat (leading) sektor dengan perangkatnya amat berperan dalam wilayah adat Gampong dan kawasan Mukim.
Wilayah adat Gampong, kesatuan masyarakat hukum yang merupakan organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah mukim yang menempati wilayah tertentu, dipimpin oleh Keuchik dan yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri. Keuchik adalah Kepala Badan Eksekutif Gampong dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Gampong (Qanun, No.5 Tahun 2003)
Wilayah adat Mukim, kesatuan masyarakat hukum dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa Gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah Camat yang dipimpin oleh Imeum Mukim. Imeum Mukim adalah Kepala Pemerintahan Mukim (Qanun No.4 Tahun 2003)
Dalam konteks budaya ideal, aktualisasi produk paket-paket budaya adat, dapat memasuki pasar global, dengan memperhatikan beberapa unsur, seperti, Berakhlak agamis, kuat aqidah dalam penegakan syiar dan syariat Islam. Han lon mate i luwa Islam, ka meunan peusan bak endatu. Nibak mate kaphee, leubeeh get kanjai. Nyang beek sagai cit tuka agama. Iman ta bina bak khusyu‘ di hate.
Berjiwa adatisme, Penampilan prilaku yang adatis dengan forma-forma adat dalam upacara-upacara kekhidmatan, bernilai ekonomi, harkat dan martabat. Tasouk bajee bek le ilat, leumah prut pusat leupah gura. Ureung inong miseue boh mamplam, lam on ta pandang mata meucaca.
Bertata Etika, budaya adat yang transparan (bermasyarakat, beraturan, berencana, berorganisasi, bergerak dan rensponsif), di bawah manajemen Geuchik beserta perangkatnya. Phon-phon adat cit jeut keudroe, watee meusahoe sinan meu tata. Maseng-maseng nanggroe na adat droe, ureung meubudoe (bakoe) nyang atoe cara. Bek keureuleng ngon kheim irot, bek meureubot peupap haba. Bek meututoe jampu carot, bek ngon meudhot sue meutaga.
Bertata Estetika. implimentas kreasi, apersiasi dalam format dengan nilai-nilai seni keindahan, bersih anggun, menarik, penuh nilai-nilai martabat yang santun, kebanggaan dan berwibawa. Beungoh seupot beu tamano, peugleih asoe pat-pat nyang reunta. Takoh gukee bak gaki ngon jaroe, peugleih gigoe jeut-jeut kutika. Rumoh tangga beuna ta pakoe, istana droe keurajeun raja. Beu gleh ngon rumoh, bagan beuk kutoe, di leun meu-asoe ngon bungong jeumpa.
Pengembangan nilai-nilai sejarah lainya juga bisa jadi berupa, Gedung memorial, monumen Daerah Modal, Monumen Perjuangan, Istimewa, Serambi Mekah, Syariat Islam, museum alat-alat teknologi pertanian tradisional, transportasi, museum perikanan, museum kereta api dan lainnya. Tempat-tempat Rekreasi, Membangun pantai-pantai wisata, restoran, taman rekreasi, salon-salon, yang fasilitas penampilannya bernuansa adat dan Islami
Membangun Panggung Festival, Menyediakan sarana festival seni yang bernafaskan Islam, menjadi media dakwah, dalail khairat, saman gayo, seudati, rapai, drama, tarian tradisional Aceh (klassik), tarian seni modern (Islami), pameran seni lukis, kaligrafi, makanan dan pakaian adat. Peranan pengusaha, secara komersial dan terprogram permanen. Membangun taman-taman hiburan untuk penyaluran minat kreasi, hiburan anak-anak yang tetap dan permanen. Taman rekreasi sungai Aceh
Membangun market-market souvenir tradisional, memperbanyak kegiatan bisinis barang dan jasa melalui pasar-pasar souvenir, pakaian adat, kue-kue khas, barang-barang antik, perhiasan, keramik dan pernak-pernik lain-lain.
Budaya Aceh Harus Punya Hak Paten
Budaya asli Aceh, baik itu kesenian maupun adat istiadat tradisional yang diwariskan para leluhur harus dipatenkan agar mempunyai kekuatan hukum untuk pengembangkan dan pelestariannya. Pemerintah harus mematenkan seluruh budaya Aceh agar tidak diklaim sebagai milik daerah atau Negara lain. Pemerintah dan seluruh komponen masyarakat Aceh yang peduli harus segera mencari solusi agar warisan nenek moyang ini dapat dikenal generasi di masa kini dan mendatang sebagai indentitas bangsa yang besar ini.
Proses regenerasi dan transpormasi taradisi ini merupakan upaya pengembangan dan juga dapat dijadikan wadah pembinaan terhadap peradaban Aceh yang kian luntur akibat pengaruh budaya global (globalisasi) yang dipancarkan melalui jaringan berbagai media massa.
Munculnya pengaruh budaya asing itu berpotensi terjadi pergeseran nilai yang bersifat kontradiktif dengan adat-istiadat masyarakat setempat. dan hal ini dikhawatirkan berimbas terhadap hilangnya jati diri bangsa, kesenian, adat istiadat dan budaya yang bernafaskan Islam sehingga mewujudkan pembangunan mental manusia Aceh yang tidak sesuai dengan fitrahnya.
Di sisi lain, banyak karya seni dan budaya karya para sastrawan Aceh tempo doeloe kini “hijrah” ke luar negeri, terutama ke negara serumpun Melayu, terutama ke ke Malaysia dan Brunei Darussalam, Philipina, Thailand Selatan dan Singapura. Padahal, karya-karya sastrawan terkenal di masa lalu itu telah memberi andil besar dalam memperkaya seni dan budaya tanah 1001 rencong ini.
Genersi sekarang seharusnya berupaya untuk mengembalikan karya-karya sastra Aceh yang tersebar dari luar negeri. Baik itu berupa naskah-naskah sastranya maupun semangat dan jiwa dari karya sastra tersebut, sehingga dapat dipelajari oleh generasi muda Aceh dimasa sekarang dan mendatang.
Apalagi, dengan semangat Islami yang sudah lama terbangun, maka akan menjadikan Aceh sebagai wilayah yang “tamaddun” budaya Islam di abad modern ini. Seandainya generasi sekarang tak banyak yang peduli, maka sampailah Peradaban Aceh pada kehancuran abadi.