Peralihan Kekuasaan Kesultanan Mataram 1578 - 1677

Kesultanan Mataram merupakan Kerajaan Islam di Jawa yang pada awalnya adalah bagian dari wilayah Kadipaten Kesultanan Pajang yang kemudian dihadiahkan kepada Ki Ageng Pamanahan. Kemudian Ki Ageng Pamanahan mendirikan keraton di wilayah Mataram pada tahun 1578, namun Ki Ageng Pamanahan wafat pada tahun 1584. Penggantinya adalah putra dari Ki Ageng Pamanahan yaitu Sutawijaya atau Panembahan Senapati ing Alaga yang kemudian didaulat menjadi sultan Mataram pada tahun 1587. Pada masa pemerintahan Panembahan Senapati dapat dikatakan sebagai awal kebangkitan dari Kesultanan Mataram. Setelah Panembahan Senapati wafat tahun 1601, penggantinya adalah Raden Jolang yang dikenal dengan nama Panembahan Seda ing Krapyak yaitu putra dari Panembahan Senapati yang berkuasa dari tahun 1601 dan wafat tahun 1613. Pengganti dari Raden Jolang adalah Raden Mas Jatmiko atau Pangeran Rangsang yang kemudian setelah menjadi Sultan Mataram dikenal dengan gelar Sultan Agung Senapati ing Alaga atau Sultan Agung Adi Hanyakrakusuma, Sultan Agung adalah cucu dari Panembahan Senapati ing Alaga. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, Kesultanan Mataram mengalami masa kejayaannya. Namun, kemudian Sultan Agung wafat pada tahun 1646.


Sepeninggal Sultan Agung yang mengalami masa kejayaannya, yang meneruskan tahta Kesultanan Mataram adalah putra dari Sultan Agung sendiri yang bernama Raden Mas Sayidin dengan gelar Sultan Amangkurat Senapati ing Alaga Ngabdur Rahman Sayidin Panatagama atau Amangkurat I. Pada masa Amangkurat I dianggap sebagai masa-masa atau detik-detik runtuhnya Kesultanan Mataram. Pada masa pemerintahan Amangkurat I telah muncul tanda-tanda melemahnya dominasi kekuasaan Mataram yang mengalami puncak kejayaanya pada masa pemerintahaan ayahnya, Sultan Agung. Tanda-tanda dari keruntuhan Kesultanan Mataram anatara lain, kebijakan-kebijakan Amangkurat I yang menimbulkan ketidakstabilan politik dalam menjalankan roda pemerintahannya. Selain itu, Amangkurat I terkenal lebih dekat kepada VOC, hal demikian berbeda ketika masa pemerintahan ayahnya, Sultan Agung yang memusuhi VOC. Kedekatan Amangkurat I dengan VOC menyebabkan terjadinya intervensi VOC terhadap politik Kesultanan Mataram. Hubungan diplomatik yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Agung yaitu anatara Kesultanan Mataram dengan Makasar juga terputus. Menurut Babad Tanah Jawa, telah terjadi pembrontakan yang dilakukan oleh Trunojoyo, hingga pada akhir kekuasaan Amangkurat I, yaitu tanggal 28 Juni 1677, Trunajaya berhasil merebut istana Kesultanan Mataram Plered. Amangkurat I melarikan diri ke arah barat (menuju Batavia). Menurut Babad Tanah Jawi menyatakan bahwa dengan jatuhnya istana Plered maka menandai berakhirnya Kesultanan Mataram.


Jatuhnya Istana Mataram di Plered dikatakan sebagai akhir dari Kesultanan Mataram, karena setelah itu Mataram sudah tidak dalam kekuasaan yang sesungguhnya, yaitu adanya intervensi perpolitikan oleh VOC. Kesultanan Mataram setelah peristiwa jatuhnya istana Plered dianggap sebagai akhir dari politik kekuasaan dari dinasti Kesultanan Mataram dari masa pemerintahan Ki Agung Pamanahan sampai Susuhunan Amangkurat I. Jadi dapat dikatakan akhir kekuasaan Kesultanan Mataram yang sesungguhnya ialah berakhirnya kekuasaan Amangkurat I pada 28 Juni 1677 sehingga Kesultanan Mataram tidak berdiri sebagai satu kesatuan wilayah kekuasaan yang utuh. Meskipun selanjutnya masih terjadi pergantian kepemimpinan dari Amangkurat II hingga perjanjian Giyanti tahun 1755 sehingga Mataram terpecah menjadi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kesunan Surakarta (Solo).

Daftar Pustaka:

Graaf, De dan Pigeaud. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa. Jakarta: PT Grafiti Pers, 1985.

____________________. Islamic States In Java 1500-1700. Amsterdam: The Hague – Martinus Nijhoff, 1976.


Graaf, De. Awal Kebangkitan Mataram. Jakarta: PT Grafiti Pers, 1985.


________. Puncak Kekuasaan Mataram. Jakarta: PT Grafiti Pers, 1986.


________. Runtuhnya Istana Mataram. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1987.


Poesponegoro, Marwanti Djoened, Nugroho Notosusanto (ed.). Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: PT (Persero) Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka, 2010.



Ricklefs, M.C.. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010.




Wahyu Budi Arianto