Ilmu Psikologi Dan Hancurnya Pemerintahan Islam Turki

Istilah psikologi pertama kali muncul ketika seorang kaballah bernama Plato menyebut istilah psyche dalam struktur jiwanya. Ia membagi manusia menjadi tiga bagian, yakni, akal, afeksi, dan nafsu. Akal ada dikepala, afeksi terletak di dada, dan nafsu berada di perut.

David Livingstone dalam tulisannya “Plato The Kabbalist” sampai menyatakan keprihatinannya bahwa gurita Filsuf Kabbalis seperti Plato ini telah menjadi pilar banyak doktrin yang telah melanda abad kedua puluh.

Sedari awal Plato sama sekali tak mengkaitkan manusia sebagai seorang hamba Tuhan. Oleh karenanya psikologi ditolak dalam teologi Kristen, karena menerima psikologi akan berimplikasi pada ketuhanan Yesus.

Terputusnya nilai-nilai keIslaman dalam Psikologi, akan sangat terasa saat kita mendapatkan mata kuliah psikodiagnostik. Mata kuliah ini bisa meraba kepribadian orang hanya bermodal pensil dan kertas. Ini jelas berbahaya sekali.

Psikodiagnotisk tidak lain adalah hasil saduran dari ajaran positivisme August Comte yang menafikan peran Allah dan mengagungkan empirisme. Comte sendiri adalah seorang Freemason yang ditugaskan menghancurkan Khilafah Ustmaniyah dan mengganti ajaran Islam dengan humanisme.

Dalam suratnya kepada seorang petinggi Turki Usmani, Mustafa Rasid Pasya, August Comte menulis, “Sekali Usmaniyah mengganti keimanan mereka terhadap Tuhan dengan humanisme, maka tujuan di atas akan cepat dapat tercapai.” Comte juga mendesak agar Islam diganti dengan ajaran positivisme.

Anda bayangkan dalam tes gambar, kepribadian seseorang akan ditentukan dari apa yang digambarnya (biasanya gambar orang). Masalahnya, hasil dari gambar ini akan merepresentasikan diri kita sendiri dari mulai tangan, kaki, mata, dan kepala.

Akhirnya karena bersendikan hanya kepada sebuah gambar, maka kita jangan kaget, jika seorang akhwat yang mencoba melukis dirinya berjilbab akan dapat cap egois dan tidak mau mendengarkan orang lain. Kenapa? Itu semua terjadi akibat konsekuensi logis seorang wanita berjilbab yang tidak akan mungkin memperlihatkan telinga (karena ditutupi jilbab) dalam gambarnya. Pembaca situslakalaka mengerti maksud saya kan?

Sekarang kita beralih kepada konsep parenting yang banyak dilakoni psikolog muslim saat ini. Mereka mengembangkan apa yang disebut “Never Say No To Children”. Dalam konsep ini kita diharamkan untuk mengatakan jangan dan tidak kepada anak. Betul betul sebuah konsep yang menyesatkan.

Konsep ini dibangun oleh Sigmund Freud, psikoanalis dan pengikut sekte Kabbalah Shabbatai Sevi yang menyatakan keinginan tidak boleh dibatasi. Bahwa menyatakan larangan katanya hanya akan membunuh potensi anak dan cenderung mengantar anak ke jurang neurosis.

Padahal Islam adalah konsep yang mengandung larangan dan anjuran.
Masih ingatkah pembaca situslakalaka dengan kisah Luqmanul Hakim. Perhatikan nasehatnya pada sang anak, “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepada anaknya : “Hai anakku.. JANGANlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang besar..” (QS. Luqman 13)