Sejarah Lembaga Keuangan Islam

Sejarah Lembaga Keuangan Islam


Baitul Mal (ilustrasi).

Sejak zaman Nabi Muhammad SAW, tercatat ada sejumlah lembaga yang didirikan untuk mendukung aktivitas kenegaraan. Beberapa lembaga tersebut, menurut Jhon L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, ada yang berfungsi sebagai pengumpul pajak dan pembelanjaan pendapatan negara. Lembaga keuangan yang paling berpengaruh pada awal peradaban Islam adalah baitulmal.

Lembaga ini memiliki tanggung jawab tradisional dalam mengurus pajak. Peran dan tanggung jawabnya berkenaan dengan komunitas Muslim yang didefinisikan secara luas dan tidak ada padanannya dalam masyarakat modern. Lembaga ini berfungsi sebagai pengelola keuangan khalifah untuk operasional tugasnya sehari-hari. Fungsi ini adalah bagian dari peran privat baitulmal.

Sedangkan, keuangan komunitas Muslim dikelola secara terpisah dari keuangan rumah tangga raja melalui Bait Al Maal Al Muslim. Cakupan tanggung jawabnya luas, dari kerja publik, seperti pembangunan atau pemeliharaan jalan dan jembatan, hingga pengeluaran sosial untuk membantu kaum fakir miskin. Baitulmal juga diposisikan sebagai bank sentral modern.

Pada dua abad terakhir, di dunia Islam, bentuk dan sistem pemerintahan telah berdiri secara modern. Bagian penting dari proses ini melibatkan terciptanya lembaga-lembaga baru dalam manajemen ekonomi makro. Peran negara dalam ekonomi adalah membentuk departemen, di antaranya ke uangan, perencanaan, industri, pertani an, dan perdagangan. Pada saat yang sama, bank sentral didirikan dan bermunculan banyak organisasi yang berperan mengatur kegiatan ekonomi, dari kamar dagang hingga serikat pekerja. Sebagian berupa agen pemerintah dan sebagian lainnya sangat otonom.

Selama abad ke-19, pengaruh gagasan Barat terus meningkat di seluruh dunia Islam dan hukum dagang yang meniru hukum dagang Inggris, Prancis, dan Belanda. Konstelasi yang nyaris serupa dengan konsep ekonomi sekuler itu diperkenalkan di banyak negara Islam. Kementerian-kementerian pemerintah dimodernisasi dan direstrukturisasi. Organisasi kementerian ekonomi pemerintah semakin banyak dibentuk ketika hubungan dengan kekuatan-kekuatan industri meningkat dan banyak negara Muslim menjadi jajahan Eropa.

Pengeluaran negara tak sebanding dengan pendapatan. Penghasilan pajak tak mampu menutupi besarnya ang garan negara. Hal ini terjadi pada masa Turki Usmani. Pemerintah mereka berutang besar, tidak hanya kepada negara-negara Eropa, tetapi kepada pemilik dana swasta asing.

Di Mesir, pengaruh sekularisasi itu sangat kuat. Misalnya, di Negara Pi ra mida itu terdapat pengadilan khusus bagi non-Muslim. Wewenangnya meli puti kasus-kasus pidana dan perdata, termasuk kasus dagang, seperti lalai membayar dan membuat keterangan palsu. Tetapi, bila berkenaan dengan syariat Islam, ketentuan tersebut tidak berlaku bagi mereka.

Di sisi lain, berkembangnya peran negara dalam ekonomi Islam mengharuskan diperbesarnya kementerian keuangan dan pertanian serta menyebabkan dibentuknya kementerian baru. Sejumlah kementerian tersebut mena ngani perencanaan, industri, perminyakan, pariwisata, dan kegiatan ekonomi lainnya.

Terkait perencanaan ekonomi, hal itu kurang diminati sejak runtuhnya eko no mi terpusat Eropa Timur. Namun, kondisi tersebut berlaku sebaliknya di dunia Islam. Di kebanyakan negara Muslim, terdapat kementerian perencanaan dan ada rencana nasional lima tahunan. Di banyak negara itu, rencana tersebut merupakan peninggalan periode pascakemerdekaan yang nasionalistis dan dalam beberapa hal, sosialistis.

Nashih Nasrullah

Redaktur: Heri Ruslan