DALAM kesempatan kali ini saya akan mengulas sedikit tentang peradaban Aceh, seperti yang pernah termuat dalam sebuah buku “Sejarah Peradaban Aceh” karangan dari Abdul Rani Usman (A. Rani Usman, -pen) salah satu putra Aceh yang lahir di Ulee Ateueng, Simpang Ulim, Aceh Timur.
Buku yang mengulas peradaban Aceh tersebut, saya peroleh dari hasil pencarian sederhana melalui jaringan internet yang berada di perpustakaan pusat Universitas Indonesia, dan setelah saya lihat-lihat dari daftar isi buku tersebut, ternyata membuat saya agak sedikit tertarik untuk bisa membaca dan mengulas lebih dalam.
Beranjak dari sedikit ketertarikan itulah, membuat hati ini membawa dalam satu perasaan ingin mengetahui lebih lanjut dari makna yang terkandung dari buku yang sedang berada di tangan saya waktu itu, walaupun secara umum ilmu sejarah dan budaya yang saya miliki masih sangat minim, maka dari itu kinilah saatnya untuk mengetahui lebih lanjut.
Langsung saja kemaksud dan tujuan dari tulisan saya ini, yakni akan melihat dan menceritakan isi buku tersebut dengan segala pengetahuan dan apa yang saya dapat dari 156 halaman tebalnya buku “Sejarah Peradaban Aceh” dengan tempo waktu seminggu saya mencoba untuk mengenal Aceh lebih dalam lagi tentang sejarah peradaban terdahulu.
Ada sedikit gambaran luar, yang dapat kita baca dari buku karangan A. Rani Usman, yakni tulisan yang ditulis oleh Prof. Nazaruddin Sjamsuuddin sebagai kata pengantar pada buku itu. Sebuah gambaran yang menjelaskan lahirnya Aceh sebagai sebuah bangsa yang berbentuk kerajaan sampai seperti sekarang ini menjadi dalam kerangka Republik Indonesia, sungguh membuat saya cukup terpana dari apa yang dipaparkan dalam buku ini secara sekilas.
Aceh yang memiliki peradaban jauh lebih komplek dibandingkan daerah-daerah lain di Nusantara, sampai saat ini telah mengalami sembilan tahap perkembangan peradaban dalam lima abad terakhir. Pertama bisa kita temukan pada perlawanan bangsa Portugis yang ingin menguasai Aceh pada tahun 1509.
Dalam tahap pertama itu pun, bangsa Aceh masih cukup gencar dan bersemangat untuk mencapai kejayaannya ditengah-tengah hantaman kekuatan kolonial Inggris sampai Belanda datang mengusik.
Tahap kedua pun masih berhubungan dengan negara Asing, yakni Jepang yang sempat menduduki Aceh tiga setengah tahun pada periode 1942. Tidak lama berselang tahun 1945, Aceh kembali bergejolak dengan perjuangan dalam merebutkan kemerdekaan Indonesia, dan disinilah menjadi tahap ketiga bagi Aceh dalam sejarah peradabannya.
Dalam merebut kemerdekaan Indonesia, jelas-jelas bangsa Aceh dengan segenap harta dan jiwa raga dikorbankan, bahkan Aceh sendiri tidak bisa dijamah oleh Belanda dalam perjuangan tersebut dan justru sebaliknya rakyat Aceh mampu memperjuangkan daerah lain dari serangan Belanda sampai ke bagian pulau Sumatera lainnya.
Di tahap keempat sejarah peradaban Aceh yang tercatat, kembali digungcang dengan konflik fisik antara kaum ulama dan ulee balang atau sering disebut dengan peristiwa Perang Cumbok sekitar awal tahun 1946. Dan setelah perang saudara ini pun berlangsung, berlanjut juga pada perang Darul Islam untuk membentuk negara Islam ditanah air ini dan menjadikan peristiwa tersebut sebagai bagian dari tahap peradaban kelima sekitar tahun 1953.
Secara ingatan kita masih sangat hafal dengan tanggal 30 September tahun 1965, dimana semua orang mengenal dengan istilah G30S PKI. Tidak ketinggalan juga rakyat Aceh banyak yang menjadi korban dari peristiwa tersebut, sehingga menambah daftar penghancuran peradaban Aceh pada nomor enam.
Lahirnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) juga mewarnai dari serangkaian aksi hak asasi manusia dalam skala yang luar biasa, dan tidak luput juga menjadi bagian yang ketujuh dalam penghancuran peradaban Aceh sendiri. Cukup menghitung hari pergejolakan yang semakin menjadi-jadi juga memicu munculnya pemberlakuan kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM), sehingga DOM mengakibatkan sebuah peristiwa yang tidak bisa begitu saja dilupakan dan ini menjadi bagian kedelapan dalam peradaban Aceh.
Yang cukup disayangkan juga, setelah berakhirnya masa DOM pada tahun 1998, terjadinya pembunuhan terhadap kaum-kaum intelektual/aktivis, pemimpin-pemimpin masyarakat sampai para ulama Aceh. Inilah sebuah tahap dimana menempati urutan yang kesembilan dalam sebuah peradaban Aceh. Namun, menurut saya sendiri tetap menggenapkan dengan sepuluh tahap terkait perkembangan dan peradabaan Aceh yakni pada tanggal 26 Desember 2004, dimana musibah yang begitu besar membuat Aceh cukup beda dari apa yang kita rasakan dulu. Wallahu’alam
Beberapa hal lainnya yang menarik dari buku tersebut juga terlihat dari sedikit kajian dari asal usul bangsa Aceh atau yang biasa dikenal etnik yang menjadi pusat perhatian para orang asing yang diperkirakan sudah ada sejak ribuan tahun sebelum Masehi.
Aceh yang terletak persis dipersimpangan jalur perdagangan internasional, membuat keberagaman etnik terjadi dalam masyarakat Aceh. Terkenalnya Aceh dengan gelar menjadi sebuah bangsa bukan suku juga tidak kalah pentingnya dari peranan Aceh dahulu sejak berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam, sehingga kekuasaan Aceh pada masa ini dikenal oleh bangsa asing bukan lagi dengan sebuah suku melainkan adalah bangsa yang berdaulat atas ajaran Islam yang telah terpatri dalam Qanun Meukuta Alam Al-’Asyi.
Selain itu pula struktur masyarakat Aceh yang dikenal Gampong, Mukim, Nanggroe sampai dengan Sagoe yang terbagi menjadi sagoe teungeh lheeploh, sagoe duaploh nam dan juga sagoe duaploh dua menjadikan Aceh salah satu struktur masyarakat yang sangat sempurna waktu itu.
Memang buku ini menjelaskan secara detail dari semua bagian-bagian yang diterangkan dengan cukup mudah, memang kenyataan sampai saat ini beberapa bagian-bagian penting dalam peradaban sudah sangat jauh tergeserkan walaupun tidak semua.
Secara gamplang, buku yang saya baca ini memang cukup menggambarkan bagaimana Aceh sediakalanya dulu memberlakuan pengendalian sosial yang sangat tepat dan juga pola kekerabatan yang cukup kuat. Adanya kemajemukan dalam masyarakat Aceh serta pluralitas budaya yang cukup berkembang tidak lepas dari adat istiadat, kesenian membuat semua itu sebagai pertanda dari satu kesatuan peradaban yang pernah ada sejak dulu.
Sebenarnya tidak selamanya Aceh dalam krisis peradaban, jika dilihat dari awal perkembangan sampai puncak kejayaan dipekirakan hanya berkisar selama 200 tahun. Maka, fenomena kebangkitan dalam masyarakat Aceh juga terlihat ketika diperbolehnya kembali Syariat Islam yang setidaknya mengikuti kebangkitan kebudayaan dan peradaban Aceh di Indonesia.
Apa pun cerita, apa pun yang anda lihat sekarang di Aceh itulah peradaban. Tidak hanya tertulis dalam sebatas Qanun atawa Perda melainkan juga bagian dari setiap masyarakat untuk tetap mempertahankan peradaban Aceh, sehingga tidak hilang akan sebuah indentitas dan jati dirinya