Raden Saleh, Seniman yang Dilupakan Kembali ke Tanah Air

Raden Saleh tak dapat dipisahkan dengan Diponegoro, keduanya saling terkait. Demikian pendapat Dr. Werner Kraus, ahli sejarah seni asal Jerman dan pakar seni Asia Tenggara dalam jumpa pers di Galeri Nasional Jumat (25/05). Apa yang disampaikan Kraus, mengingatkan saya pada pementasan opera Diponegoro, Java War 1825-0000 yang digarap oleh Sardono W. Kusumo bulan November tahun lalu di Teater Tanah Air, Taman Ismail Marzuki Jakarta. Turut hadir malam itu Peter Carey sejarawan dari Oxford University, penulis buku The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and The End of An Old Order in Java 1785-1855 (2008).



1338002709354469313

Raden Saleh



13380028561023810087

Peter Carey dengan latar belakang lukisan Penangkapan Diponegoro karya Raden Saleh (dok. koleksi pribadi)


Merujuk pada pendapat Kraus di atas, hal ini tentu tidak lepas dari lukisan Penangkapan Diponegoro yang menjadi salah satu masterpice Raden Saleh. Peter Carey pun sempat memaparkan bagaimana Raden Saleh seorang maestro yang tidak diaku di negeri sendiri menempatkan dirinya dalam 3 (tiga) sosok berbeda pada lukisan yang menjadi latar belakang panggung tersebut. Kraus yang sedang mempersiapkan peluncuran buku monografi dan buku seni Raden Saleh, menjadi kurator tunggal Pameran Lukisan Raden Saleh dan Awal Seni Lukis Modern Indonesia yang akan berlangsung pada 3 -17 Juni 2012 mendatang. Selain Kraus, pembicara lain yang hadir pada jumpa pers al. Drs. Tubagus Andre Sukmana - Direktur Galeri Nasional Indonesia, Gunawan Muhammad sebagai Penasehat, Franz Xaver Augustin - Direktur Goethe Institut Indonesia dan Direktur Regional Wilayah Asia Tenggara, Australia & Selandia Baru, Christoph Seemenn - Kepala Bagian Kebudayaan & Pers Kedubes Jerman dan Helena Abidin - BMW Group Indonesia.

13380030461054682516

Ki-ka : Drs. Tubagus Andre Sukmana, Gunawan Muhammad, Franz Xaver Augustin,Christoph Seemenn dan Helena Abidin dalam jumpa pers di Galeri Nasional, Jakarta (dok. koleksi pribadi)


Gunawan Muhammad atau akrab disapa GM yang bertemu Kraus di Passau 10 (sepuluh) tahun lalu berharap dengan adanya pameran ini, masyarakat Indonesia bisa mengenal sosok dan mengapresiasi karya Raden Saleh. Momen ini juga sebagai pengingat bagi pemerintah Indonesia yang selama ini agak buta huruf dengan kesenian agar sadar bahwa masalah ini penting sebagai bagian dari khasanah dan artistik. Tak banyak telaah yang dilakukan oleh sejarawan tentang Raden Saleh seperti yang dilakukan oleh Kraus, imbuh GM.

Pada kesempatan yang sama, Franz Xaver menyayangkan seorang seniman yang namanya tersohor tidak hanya di Indonesia tapi hingga ke mancanegara seperti Raden Saleh; tak banyak dikenal bahkan tidak dihargai di negerinya sendiri. Untuk itulah Kraus dan Franz Xaver bekerjasama dengan JERIN (Jerman Indonesia) menggagas untuk mengadakan pameran karya Raden Saleh sebagai puncak kegiatan Kreativitas dalam Keberagaman. Dalam pameran nanti, selain lukisan turut dihadirkan sketsa-sketsa serta 6 (enam) lembar buku pedoman menggambar yang pernah ditulis Raden Saleh. Untuk pertama kalinya karya Raden Saleh akan dipamerkan di negerinya, Indonesia.


Karya-karya Raden Saleh sebagian besar dikoleksi oleh para kolektor seperti Bung Karno maupun kolektor di luar negeri. Lebih dari 40 (empat puluh) lukisan cat minyak Raden Saleh termasuk 4(empat) lukisan yang ditemukan di Istana Bogor dan Yogya telah direstorasi dan akan mengisi ruang pameran. Franz Xavier menambahkan, besarnya resiko untuk membawa karya berusia 200 tahun serta tidak diijinkannya karya tersebut dibawa keluar dari Eropa; maka sebagian koleksi yang dipamerkan mengintegrasi reproduksi lukisan aslinya.


Hal berbeda disampaikan oleh Christoph Seemenn, dua tahun sebelum bertugas ke Indonesia dirinya menyempatkan diri untuk memahami siapa Raden Saleh dengan berkunjung ke Maxen, Dresden. Di sana Seemenn dibuat terpesona oleh Rumah Biru (Balue Haeusel) dengan tulisan dalam huruf Jawa di pintunya. Kurangnya apresiasi terhadap peran dan karya Raden Saleh berdampak juga pada tak terpeliharanya peninggalan Raden Saleh termasuk makamnya, kata Tubagus Andre. Raden Saleh meninggal pada 23 April 1880 dan dimakamkan di Bondongan Bogor. Makamnya baru sempat dipugar sebanyak dua kali, pertama oleh Soekarno tahun 1953 dan yang kedua pada tahun 2007.



Pameran yang rencananya akan dibuka oleh Wapres Budiono ini, melibatkan pula 40 (empat puluh) volunteer dari mahasiswa/i Paramadhina dan IKJ yang telah dibekali pengetahuan seputar Raden Saleh akan bertugas sebagai pemandu selama berlangsungnya pameran. Kegiatan lain yang akan digelar selain pameran diantaranya : Lokakarya Seni Penyajian Seni, Pertunjukan Wayang, Lokakarya Wayang untuk Anak-anak, Lomba Mengarang untuk Anak Sekolah dan Peragaan Busana Raden Saleh. Kita berharap melalui pameran ini pesan yang ingin disampaikan oleh mereka yang peduli pada jejak sejarah Indonesia, dapat tersampaikan dengan baik kepada masyarakat Indonesia. Semoga ke depannya bangunan peninggalan dan karya Raden Saleh mendapat apresiasi serta tempat di hati masyarakat Indonesia terutama dikenal oleh generasi muda.


[oli3ve]