Sultan Iskandar Muda; Kerajaan Aceh Menurut Catatan Dinasti Ming

DINASTI Ming di China mempunyai catatan khusus tentang politik dan perkembangan Kerajaan Aceh. Catatan tersebut disusun sedemikian rupa dalam buku Mingshi Bab 325 atau bab keenam yang membicarakan negeri-negeri asing.
Dalam buku tersebut, disebutkan sebuah kerajaan bernama Su-men-da-la, yaitu pelabuhan dagang Samudra yang ada di ujung utara Pulau Sumatra. Paruh pertama catatan itu menceritakan hampir seluruhnya kunjungan armada sida-sida Zheng He ke Su-men-da-la di awal abad ke 15. Selama setengah abad lebih sering terjalin hubungan antara kedua kerajaan ini.
Pada paruh pertama catatan ini, sama sekali tidak menceritakan menyinggung masalah Kerajaan Aceh. Namun, memasuki tahun Wanli (1573-1620), catatan mengenai Kerajaan Aceh menjadi pokok pembahasan. Seperti halnya yang ditulis oleh Sibu beiyao, jilid IV halaman 2.299 yang kemudian diterjemahkan oleh W.P Groeneveldt, dan disalin Denys Lombard dalam bukunya berjudul Kerajaan Aceh.
Dikisahkan dalam tahun Wanli (1573-1620) terjadi dua kali pergantian dinasti. Pergantian dinasti yang dimaksud yaitu, naiknya raja-raja “asing” ke tahta dan kerusuhan-kerusuhan tahun 1579. Pada akhirnya, buku Mingshi menuliskan, seorang budaklah yang menjadi raja. Majikan budak itu salah satu pembesar mulia kerajaan tersebut; ia memegang pimpinan angkatan bersenjata.
Budak itu kejam dan lihai; majikannya menugaskan kepadanya pemeliharaan gajah dan gajah-gajah itu menjadi gemuk; kepadanya dipercayakan pengawasan pajak atas ikan dan saban hari si budak memberinya seekor ikan yang besar; tuannya yang sangat senang dengan pekerjaannya, menjadikannya orang kepercayaannya.
Pada suatu hari ia mengikuti tuannya ke penghadapan dan dilihatnya Raja yang dipuja seperti dewa; tuannya membungkuk rendah penuh hormat.
Setelah keluar, si budak berkata kepada tuannya: “Mengapa begitu besar penghormatan tuan?” dan tuannya menjawab: “Itu tadi sang Raja, bagaimana saya dapat bersikap lain?” tukas si budak: “Salahnya, tuan tidak mau menjadi raja; seandainya tuan mau, tuan juga segera menjadi raja.” Tuannya memarahinya dan menyuruhnya pergi.
Beberapa waktu kemudian, ia membicarakan hal ini lagi: “Yang mengawal Raja hanya sedikit; kerahkanlah bagian terbesar angkatan bersenjata dan tinggalkan kota; lalu kembalilah seakan-akan mau minta diri; izinkan saya mengikuti tuan pada saat itu; katakan kepada Raja bahwa tuan hendak menyampaikan sesuatu yang bersifat rahasia dan mintalah supaya orang sekelilingnya untuk pergi; ia pasti tak akan menaruh curiga; saya akan memanfaatkan kesempatan itu untuk membunuhnya dan membuat tuan Raja sebagai penggantinya; tak ada sukarnya.”
Tuannya melakukan apa yang dikatakan kepadanya; maka si budak membunuh sang Raja dan berseru: “Sang Raja telah menyimpang dari jalan yang lurus (dalam buku tersebut dituliskan: Raja telah menyimpang dari Tao), saya telah membunuhnya dan membuat tuan saya menjadi Raja sebagai penggantinya; mereka yang berani membantah, akan merasakan pedang ini.”
Rakyat tunduk dan tidak berani berkutik; tuannya merebut tahta dan mengangkat budaknya menjadi orang kepercayaannya; ia dipercayakan menjadi pimpinan angkatan bersenjata. Tak lama kemudian si budak membunuh tuannya dan merebut kekuasaan.
Maka ia mengambil tindakan-tindakan pencegahan di sekelilingnya; istana disuruhnya besarkan dan disuruhnya buatkan enam pintu gerbang yang tak bisa dimasuki semua orang; tak terkecuali pembesar kerajaannya (orang kaya) dilarang membawa pedang jika ke istana.
Apabila ia keluar, ia naik gajah; di punggung gajah ada rumah-rumahaan kecil yang diselubungi tirai, dan ada lebih dari seratus gajah yang ikut dengan perlengkapan yang sama sehingga orang banyak tidak dapat mengetahui gajah mana sebenarnya dinaiki Raja.
Adat kebiasaan di negeri itu pada umumnya baik; mereka berbahasa dengan lembut; hanya sang Raja yang suka membunuh; setiap tahun dibunuhnya lebih dari sepuluh orang, lalu ia mandi dalam darah mereka; katanya untuk melindungi diri terhadap penyakit.
Mereka mengekspor barang seperti batu mulia, akik, hablur, nila, kuda-kuda yang bernilai tinggi, badak, batu ambar, kayu gaharu, kayu kelembak, pucuk, cengkeh, dupa, keris, busur, timah, lada, kayu, sapan, belerang, dan lain sebagainya. Mereka berniaga dengan jujur dengan para pedagang yang singgah.
Tanah tidak subur; tidak ada gandum, tetapi padi yang dipanen dua kali setahun. Di tempat itu berkumpul pedagang-pedagang yang datang dari mana saja; adapun orang Cina yang mendatanginya, di sana mendapat untung yang lebih besar dari mana pun karena negeri itu jauh letaknya dan sebagai akibat harga-harganya tinggi.
Suhunya panas pada pagi hari dan hangat pada sore hari, musim panas membawa penyakit demam yang parah. Kaum perempuan membuarkan bagian atas tubuhnya telanjang, dan hanya memakai sehelai kain yang menyelubungi pinggulnya. Selebihnya kebiasaan mereka mirip kebiasaan di Malaka.
Sesudah perebutan tahta, nama negeri itu dirubah menjadi Aceh.
[bna]