Tidak ada orang Aceh yang tidak kenal dengan gunongan. Gunongan adalah simbol gunung yang dibangun untuk menghiasi taman-taman di dalam istana kerajaan Aceh jaman dulu. Gunongan di bangun di dalam taman sari yang masih berada dalam kawasan istana. Bangunan bertingkat tiga tersebut dibangun dengan menggunakan batu-batuan gunung, tanah liat, dan batu kapur dan diperuntukkan sebagai tempat berganti baju sang permaisuri sebelum pergi mandi di krueng Daroy.
Minggu (20/11), saya bersama dua orang teman, Ferhat dan Ihan, berkunjung ke salah satu wisata sejarah di Kota Banda Aceh tersebut. Gunongan yang bersebrangan dengan Kerkoff Peucut, terletak di Jalan T. Umar, dekat dengan pusat Kota Banda Aceh. Panasnya matahari tidak menyurutkan semangat kami untuk menjelajahi Taman Sari Gunongan yang sekarang dipelihara oleh Pusat Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Aceh dan Sumatra Utara. Ternyata, bukan hanya kami yang datang untuk melihat bukti sejarah pada masa kejayaan Aceh itu. Bersama empat orang anak kecil, kami pun meminta izin pada Yahya (70) untuk masuk dan naik ke Gunongan. Yahya telah puluhan tahun bekerja memandu wisatawan di sini.
Sampai saat ini, di Aceh masih tersebar kabar bahwa alat yang dipakai sebagai perekat batu-batu gunung saat membangun Gunongan adalah telur. Namun ternyata, itu adalah gosip yang disebarkan oleh masyarakat Aceh sendiri. Bangunan berwarna putih itu hanya dibangun dengan menggunakan batu-batuan gunung, tanah liat, dan batu kapur.
“Itulah orang kita Aceh, kalau lihat sesuatu langsung percaya tanpa bertanya terlebih dahulu,”ujar Yahya saat kami bertanya kebenaran telur yang dijadikan perekat batu-batuan itu. “Dulu saat gunongan ini di bangun, ada orang yang melihat tumpukan telur-telur di samping gunongan. Tanpa bertanya pada pekerjanya, dia pulang memberi kabar pada istrinya bahwa telur digunakan sebagai alat perekat,” sambung Yahya.
Kabar tentang telur tersebut tersebar dari mulut ke mulut. Para istri yang tengah berbelanja memberitakan kabar itu kepada wanita lainnya, sehingga kabar tersebut tersebar luas di Aceh dan masih diyakini hingga sekarang. Saya dan dua teman lainnya mangut-mangut saat mendengar penjelasan Yahya.