Menakar Usia Punden Gunung Padang


Sketsa imajiner Gunung Padang

Jika terbukti 10.500 SM, situs ini bisa mengubah peta peradaban dunia.

Usia situs megalitik Gunung Padang ditaksir hampir mencapai seratus tahun. Tapi sejak pertama kali “ditemukan” arkeolog Belanda N.J. Krom pada 1914, belum banyak penelitian yang berusaha mengungkap kapan punden berundak ini pertama kali didirikan.

Saat itu, Krom yang menulis temuan ini dalam "Rapporten Oudheidkundige Dienst" (Buletin Dinas Kepurbakalaan) mendeskripsikan Gunung Padang memiliki empat teras bertingkat. Krom juga menulis punden berundak itu dibangun dari batu andesit berbentuk columnar joint.

Dalam laporan itu, dia menduga punden berundak ini berfungsi sebagai kuburan dari masa prasejarah. "Di tiap teras bukit itu terlapisi dan tertutup oleh batu-batuan, yang juga dilengkapi dua batu tajam," tulis Krom.

Sepertinya, setelah Krom, tidak ada lagi penelitian lain mengenai gunung misterius ini. Sebab, saat “ditemukan kembali” oleh tiga penduduk setempat pada tahun 1979, situs ini tertutup oleh hutan dan semak belukar. Tiga penduduk itu kemudian melaporkan temuan mereka ke Penilik Kebudayaan Kecamatan Campaka, yang kemudian ditindaklanjuti oleh Seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur.

Sejak tahun 1979 itulah arkeolog kembali meneliti Gunung Padang. Mereka berupaya mendokumentasikan Gunung Padang secara lengkap. Hingga kemudian pada tahun 1982, tim arkeolog yang dipimpin R.P. Soejono mengetahui bahwa situs Gunung Padang merupakan bangunan punden berundak yang berukuran sangat besar.

Tapi, hingga kini, belum ada penelitian yang secara khusus menyusuri berapa sebetulnya usia bangunan bersejarah ini. Selama ini, situs ini dimasukkan dalam periodisasi megalitikum atau masa yang ditandai dengan penemuan batu-batu besar. Periode itu berlangsung sekitar 2.500 SM hingga 500 SM.

Pembicaraan mengenai usia Gunung Padang kembali menarik perhatian publik saat Tim Bencana Katastropik Purba--yang terdiri dari ahli-ahli geologi—ikut meneliti Gunung Padang. Keterlibatan tim ini dalam meneliti Gunung Padang bisa dibilang berawal dari sebuah kebetulan.

Awalnya, mereka berusaha meneliti siklus bencana yang terjadi di Nusantara sejak masa lalu. Gunung Padang pun menjadi obyek penelitian karena lokasinya dekat patahan aktif Cimandiri. Tim kemudian melakukan uji geolistrik, geomagnet, dan georadar untuk mengetahui kondisi geologi gunung ini. Selain itu, juga dilakukan pengeboran dan carbon dating untuk mengetahui penanggalan situs ini.

Dua peradaban?

Hasil carbon dating Tim Terpadu mengejutkan. Saat pertama kali mengungkap hasilnya dalam sebuah diskusi di Gedung Krida Bhakti, Sekretariat Negara, Jakarta, 7 Februari silam, salah satu anggota tim, Dr. Danny Hilman, mengatakan situs ini berasal dari 6.700 tahun lalu atau sekitar 4.700 SM. Tapi kemudian, hasil carbon dating lain mengungkapkan temuan yang lebih mencengangkan. Dari sampel pengeboran di Teras 5 pada kedalaman 8 hingga 10 meter, hasilnya menunjukkan situs ini didirikan sekitar 10.500 SM!

Danny memberi penjelasan soal perbedaan ini. Angka 4.700 SM itu disimpulkan dari hasil carbon dating di dekat permukaan. “Di sekitar kedalaman empat meter," kata geolog terkemuka ini kepada VIVAnews, 26 Juni 2012. Sedangkan angka 10.500 SM berasal dari dari sampel yang diambil dari yang lebih dalam. “Itu adalah perkiraan usia maksimal, yang paling tua,” kata dia.

Selain itu, Danny berasumsi situs megalitik ini boleh jadi pernah digunakan oleh dua peradaban berbeda. Satu berasal dari masa sekitar 4.700 SM. Satu lagi dari yang usia maksimalnya 10.500 SM. "Saya curiga ini berasal dari dua peradaban. Tapi ini masih perlu diteliti lebih jauh. Kami melakukan penelitian dengan imaging dan melihat struktur-dalam berdasarkan penelitian georadar, geomagnet, dan geolistrik. Jadi, atas dan bawah itu bukan satu konstruksi."

Perspektif arkeologi

Meski carbon dating memperlihatkan hasil yang fenomenal, para arkeolog yang bergabung di Tim Terpadu tidak mau tergesa-gesa menyimpulkan. Menurut koordinatornya, Ali Akbar, arkeologi mengedepankan metode penelitian berdasarkan apa yang bisa dilihat, terutama yang berada di permukaan. "Arkeolog bekerja dari apa yang diketahui. Karena itu, arkeolog mencari dari apa yang ada di permukaan terlebih dahulu, bukan dari apa yang ada di dalam," katanya.

Karena itu, langkah pertama para arkeolog adalah membandingkan struktur bangunan Gunung Padang dengan temuan megalitik lain, seperti di Pasir Angin, Lebak Cibadak, dan Pugung Raharjo.

Dalam penelitian ini, tim arkeologi mendapati sejumlah temuan lain. Dari penyisiran permukaan di sisi timur dan barat punden, mereka antara lain menemukan batu tegak di dekat struktur yang diduga merupakan tangga. Temuan ini memiliki kemiripan dengan temuan megalitik lain, yang berasal dari periode 2.500 SM hingga 1.500 SM.

Dari hasil ekskavasi, tim arkeologi juga menemukan pecahan tembikar dan serpihan batu yang diduga merupakan limbah pembuatan beliung persegi. Dari pecahan tembikar itu diketahui bahwa "tekniknya masih sederhana, memperlihatkan tradisi di masa neolitik." Ali juga mengatakan limbah beliung persegi merupakan artefak yang umum ditemukan di peninggalan megalitik dari masa 2.500 SM.

"Tidak ditemukannya logam juga memperlihatkan bahwa periodisasi megalitik ini memang berasal dari masa yang lebih tua, karena logam baru ditemukan di masa perundagian pada 500 SM," tutur Ali.

Ali lalu menjelaskan, periodisasi megalitik memang tidak memiliki batasan tahun yang statis. Selama ini, periodisasi megalitik berada di antara neolitik dan paleometalik. Masa megalitik itu ditandai dengan bangunan besar yang terbuat dari batu, karena itu tanda-tanda periodenya tidak ditemukan sama di tiap wilayah. "Kalau di Indonesia, yang seangkatan itu peninggalan megalitik dari yang paling tua 2.500 SM hingga yang paling muda 500 SM," kata Ali.

Beda pandangan?

Meski terkesan berbeda pendapat soal usia situs Purba ini, tim arkeologi dan tim geologi membantah tidak satu pandangan. Menurut Ali, mereka hanya bekerja berdasarkan kaidah ilmu masing-masing. Dia juga mengatakan bahwa hasil carbon dating masih bersifat relatif. "Itu bisa saja menunjukkan usia lapisan tanah, tapi belum menunjukkan lapisan budaya."

Senada dengan Ali, Danny Hilman pun mengatakan bahwa hasil carbon dating tidak bersifat absolut. "Untuk 10.000 SM itu usia maksimal yang ada di dalam. Yang di permukaan, usia maksimalnya 4.700 SM. Tapi, seperti apa tepatnya, masih terus dilakukan pencarian," katanya.

Karena itu kedua tim sepakat untuk sementara ini menyebut usia dari temuan yang ada di permukaan. “Berasal dari periode 4.500 SM hingga 2.800 SM,” demikian Tim Terpadu mengambil kesimpulan sementara.

Soal prediksi berasal dari tahun 10.500 SM, Tim menyatakan belum bisa memberikan kepastian. "Karena bisa saja itu merupakan umur material pasir yang dibawa dari tempat lain. Tapi, paling tidak ini sudah membuktikan bahwa lapisan batuan-tanah sampai kedalaman 15 meter adalah sebuah konstruksi bangunan, bukan lapisan batuan alamiah," Tim menyimpulkan.

Soal ini, Ali menekankan, jika Gunung Padang benar terbukti berasal dari masa 10.500 SM, maka temuan ini niscaya akan mengubah peta peradaban dunia. (kd)

VN