Keputusan Bijak Founding Fathers, Menghapus Tujuh Kata dalam Piagam Jakarta

1343524362617659712

Dalam buku sejarah yang ada di sekolah sudah mafhum rasanya bahwa sebelum pancasila seperti sekarang ini, ada tujuh kata (ejaan pada saat itu) yang dihilangkan oleh para tokoh-tokoh pendiri bangsa ini. Tujuh kata itu terdapat dalam sila pertama, yaitu Ketuhanan, Dengan Menjalankan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Ada yang mengatakan bahwa ini merupakan gentlement Agreement dari umat islam, karena bersedia ‘mengalah’ demi terciptanya kesatuan bangsa. Ini didasari ada rumor yang berkembang bahwa jikalau tujuh kata itu tidak dihapus, maka wilayah Indonesia di bagian timur akan memisahkan diri. Praktis setelah proklamasi dikumandangkan, tanggal 18 Agustus 1945 setelah rapat dan dialog yang alot oleh kelima tokoh yakni, Wahid Hasyim, Ki Bagoes Hadikusuma, Kasman Singodimejo, Muhammad Hatta, dan Teokoe Mohammad Hasan akhirnya disetujui penghapusan tujuh kata itu, tapi dengan catatan Ketuhanan ditambahkan dengan Yang Maha Esa. Sementara itu ada sebagian orang yang mengatakan bahwa penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu sebagai pengkhianatan terhadap umat islam oleh tokoh-tokoh nasionalis yaitu Bung Karno dan Bung Hatta.

Sejarah penghapusan tujuh kata itu kiranya jangan hanya dipahami sekelibat saja, tapi perlu direnungkan dan dipikir secara mendalam mengenai alasan mengapa tujuhkata yang telah disepakati bersama dalam piagam Jakarta itu tiba-tiba dihapus begitu saja satu hari setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan. Tujuannya agar sedikit-sedikit tidak menyalahkan bahkan mencela tokoh-tokoh yang telah berjuang demi kemerdekaan bangsa ini. Saya yakin orang-orang seperti Bung Karno, Bung Hatta, Wahid Haasyim, Ki Bagoes Hadikusuma, Kasman Singodimejo dan tokoh-tokoh lainnya adalah orang-orang yang tulus memperjuangkan negerinya agar menjadi negeri yang rukun dan tentram.


Kalau kita mengedepankan ego dan ‘ingin menang sendiri’ mungkin penghapusan tujuh kata dalam piagam Jakarta yang telah disepakati tanggal 22 Juni 1945 itu adalah bentuk pengkhiantan Bung Karno dan Bung Hatta kepada umat Islam. Alasannya karena Bung Hatta-lah yang mengusulkan penghapusan itu, setelah menerima telepon dari seseorang bahwa Indonesia Timur akan memisahkan diri dari Indonesia, kalau tujuh kata itu tidak dihapus.



Jujur saya tidak sependapat dengan orang, golongan atau kelopmpok yang menyatakan seperti itu bahkan saya mengecam orang-orang yang menuduh Bung Karno, Bung Hatta atau tokoh-tokoh yang lainnya berkhianat kepada umat Islam. Saya kadang heran, mengapa begitu entengnya mereka mengatakan bahwa tokoh-tokoh itu adalah pengkhianat umat Islam. Melihat kenyataan hampir orang seperti Bung Karno dan Bung Hatta harus merelakan usia mudanya dihabiskan di dalam penjara guna memperjuangkan agama, bangsa dan negaranya.


Yang membuat saya geli adalah ada sebagian orang yang mengatakan bahwa mengapa Indonesia sampai sekarang ini masih terpuruk dan semakin terpuruk? Karena disebabkan penghapusan tujuh kata itu. Seandainya tujuh kata itu dibiarkan tentu Indonesia tidak akan menjadi negeri seperti ini. Pernyataan seperti ini bisa dibalik, bagaimana kalau tujuh kata itu tetap dipertahankan? Mungkin wilayah Indonesia tidak akan seperti sekarang ini, karena banyak wilayah-wilayah yang akan memisahkan diri dari negera kesatuan republic Indonesia, bahkan keamanan dan ketentraman hidup di Indonesia akan sangat mengkhawatirkan karena adanya persinggungan dan pertentangan sana-sini. Tapi berkat tangan dingin, kebijaksanaan dan kearifan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh pendiri bangsa ini, yang rela menghapus tujuh kata itu, demi kemenangan dan cita-cita bersama yakni tercapainya Indonesia merdeka, berdaulat adil dan makmur. Akhirnya keutuhan dan persatuan tetap terjaga.


Apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh pendiri bangsa ini seperti Bung Karno, Bung Hatta, Wahid Haasyim, Ki Bagoes Hadikusuma, Kasman Singodimejo yang bersedia menghapus tujuh kata dalam piagam Jakarta, saya yakin bukannya tanpa dasar dan pertimbangan yang matang. Orang seperti Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikuma, Kasman Singodimejo adalah orang-orang yang mapan pengetahuan agamanya, begitu pula Bung Karno dan Bung Hatta, meskipun dikenal sebagai golongan nasionalis tetapi begitu religius dalam setiap pengambilan keputusannya, misalnya seperti pemilihan tanggal kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang dalam pengakuannya, Bung Karno mengatakan bahwa sejak di Saigon sudah merencanakan proklamasi pada 17 Agustus 1945 karena diyakini angka 17 merupakan angka yang istimewa, al-Qur’am ditunkan pada 17 Ramadhan dan shalat dalam sehari semalam juga terdiri dari 17 rakaat. Dan dipihnya hari mulia pada Jum’at Legi.


Kalau kita menengok sejarah, sebenarnya apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh pendiri bangsa ini dengan kesediannya menghapus tujuh kata dalam piagam Jakarta itu adalah meniru bentuk dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah saw yang dalam berdakwah tidak terlalu kaku dalam mempertahankan teks-teks dan formalitas lahiriah, selama tujuan pokok yang hendak dicapai terpenuhi. Dalam perjanjian Hudaibiyah misalnya, Nabi Muhammad saw bersedia menghapus kata Bismillahirrahmanirrahim dalam teks tertulis perjanjian itu. Karena ditolak oleh Suhail bin Amr dari pihak Makkah jika menggunakan kata tersebut. Meskipun para sahabat termasuk Ali bin Abi Thalib yang ditunjuk sebagai sekretaris untuk menulis perjanjian keberatan dengan keputusan Nabi Muhammad saw, tapi Nabi saw tetap pada keputusannya menghapus kata itu, bahkan yang disepakati ditulis dalam teks perjanjian itu hanya Muhammad bin Abdullah yang sebeumnya ditulis Muhammad Rasulullah yang juga ditolak oleh Suhail.


Tidak bijak rasanya kalau menuduh orang-orang seperti Bung Karno, Bung Hatta dan tokoh-tokoh lain yang berjuang untuk kemerdekaan dan bersatunya bangsa yang ditakdirkan oleh Tuhan sebagai bangsa plural dengan ‘pengkhianat’ gara-gara hanya menghapus tujuh kata itu. Lihatlah dengan kacamata bijak, agar kita tidak mudah menyalahkan, bahkan menuduh yang sebenarnya kita sendiri tidak mengetahuinya. Kiranya langkah yang ditempuh oleh mereka adalah langkah yang tepat dan bijak.



Zaenal Abidin