PKI setelah Peristiwa Madiun tahun 1948, sudah dilarang oleh pemerintah Moh. Hatta sebagai partai terlarang, dengan ini mereka mencoba bangkit dari terpurukan. Dimulai pada kabinet Wilopo dan kabinet-kabinet setelahnya, PKI mulai muncul terang-terangan dalam melakukan berbagai aktivitas politik. Pada masa ini PKI memiliki lima sosok pimpinan partai yaitu: Alimin, DN. Aidit, HM. Lukman, Njoto, dan Sudisman. Nama yang paling menonjol adalah DN. Aidit yang mewakili generasi baru kelompok Komunis Indonesia. Di bawah kepemimpinannya, dengan dibantu empat tokoh sebagaimana disebut, PKI pun mengambil strategi yang benar-benar baru dengan pola sebelumnya yang ditempuh oleh partai ini.
Kesuksesan dalam menerapkan strategi perjuangan baru itu selanjutnya bisa dilihat pada fenomena peningkatan jumlah anggota yang luar biasa. Sebagai gambaran, dalam kurun waktu kurang lebih 12 tahun setelah tahun 1952, PKI berhasil menggelembungkan jumlah anggotanya menjadi 3.000.000 orang (jumlah anggota untuk tahun 1964). Sementara itu organisasi mantelnya seperti BTI (Barisan Tani Indonesia) yang pada tahun 1953 memiliki anggota 360.000 orang, pada September 1963 melonjak 5,7 juta anggota. PR(Pemuda Rakyat) awal tahun 1964 melonjak menjadi 2.000.000 anggota. Organisasi simpatisan PKI di kalangan buruh, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia mencatatkan jumlah anggota sebanyak 3,3 juta orang. Selanjutnya Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI) memiliki jumlah anggota 1,7 juta orang. Jauh sebelum didapatkan angka-angka tersebut, PKI seolah telah meniupkan terompet peringatan terhadap lawan politiknya dalam pemilu 1955, dimana partai ini secara mengejutkan berhasil meraih hasil yang cukup gemilang. Capaian tahun 1955 itu kemudian diulangi bahkan dengan hasil lebih baik lagi pada saat dilangsungkan pemilihan tingkat lokal di Jawa. Dalam pemilihan di tahun 1957, PKI menjadi partai pemenang untuk sebagian besar daerah yang ada di Jawa dengan menungguli dua partai lainnya, PNI dan NU, yang selama memiliki konstituen tradisional yang cukup kuat. Dengan raihan ini maka menjelang akhir tahun 1950-an kedudukan PKI di hadapan para lawan politiknya tidak lagi sekedar diperhitungkan, namun telah menjadi ancaman serius.[1]
Konflik-konflik yang terjadi di Indonesia, baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal, pada dekade 1960-an merupakan rentetan dari diberlakukannya sistem Demokrasi Terpimpin oleh Soekarno. Sistem pemerintahan itu berlandaskan pada tiga pilar kekuasaan politik besar, yakni Soekarno, TNI-AD (Angkatan Darat), dan PKI. Kaum nasionalis berperan sebagai pemegang status quo yang berupaya mempertahankan status quonya, sedangkan TNI-AD maupun PKI saling bersaing merebut kekuasaan dari pemerintah sah Soekarno.[2] Soekarno selalu menjaga agar kedua kekuatan ini dalam kekuasaan negara tetap seimbang. Namun ternyata ia gagal mempertahankan keseimbangan tersebut, sehingga menyebabkan PKI dan TNI-AD tidak harmonis dan saling menjegal.
Carut marut situasi perpolitikan di tingkat atas otomatis berdampak pada kondisi keamanan di daerah-daerah khususnya wilayah Banyuwangi. Setelah tersiar berita tentang Dewan Jenderal dan Dewan Revolusi, para pimpinan PNI, NU, dan PKI Kabupaten Banyuwangi seperti Jafar Ma’ruf (PNI), Ali Mansur (NU), dan Sigit (PKI) menyelenggarakan pertemuan untuk membahas situasi tersebut. Pihak PKI mengklaim bahwa Dewan Jenderal benar-benar ada, sedang dari pihak PNI dan NU menyangkal keberadaan Dewan Jenderal maupun Dewan Revolusi akibatnya terjadi perdebatan yang memanas di antara ketiganya.[3]
Pelatihan militer terhadap kelompok non-komunis mulai digalakkan. Selain mengadakan pelatihan, KOSTRAD yang dibantu RPKAD juga menganjurkan kelompok anti-komunis untuk melakukan pembersihan lewat serangkaian pembantaian terhadap para anggota/simpatisan PKI.[4] Pascatragedi G30S 1965 serangkaian pembantaian massal terhadap para anggota/simpatisan PKI menyebar di beberapa daerah, sehingga mengakibatkan banjir darah, terutama di daerah-daerah yang menjadi basis PKI, yakni Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sementara itu di wilayah Banyuwangi para pimpinan partai-partai politik non-PKI membentuk Badan Koordinasi Komando Siaga (BKKS) yang bertujuan untuk memonitor dan mengontrol perlawanan terhadap PKI. Untuk mempersiapkan diri terhadap serangan para anggota/simpatisan PKI, massa partai politik non-PKI dipersiapkan dengan pelatihan-pelatihan bela diri serta kekebalan tubuh oleh para kiai di Banyuwangi. Selama masa lemahnya kekuatan kekuasaan Negara, terbukalah kemungkinan-kemungkinan lebih besar bagi massa rakyat untuk melakukan aksi individual, khususnya bagi mereka yang mempunyai kepentingan pribadi dan kelompok untuk dapat menyelesaikan masalah dan dendam-dendamnya terhadap para anggota/simpatisan PKI.
Pada tanggal 16 Oktober 1965 sebuah rapat akbar diselenggarakan di alun-alun Banyuwangi. Ribuan massa dari partai non-PKI memadati alun-alun untuk mendengarkan pidato pimpinan mereka, di antaranya Kolonel Joko Supaat Slamet (Kodim Banyuwangi), H. Abdul Latief (NU), dan Soekmadi (PNI). Bupati Banyuwangi saat itu yakni Suwarno Kanapi yang merupakan simpatisan PKI juga hadir, tetapi Kanapi memilih untuk tidak berbicara. Pada umumnya para pembicara memberitahukan ke publik bahwa Dewan Jenderal dan Dewan Revolusi hanya kebohongan yang dilancarkan oleh PKI. Pertemuan ini telah menjadi sebuah katalisator bagi pecahnya aksi massa non-PKI di seluruh wilayah Banyuwangi.[5]
Kekerasan yang sebagian diakibatkan persoalan politik dan perbedaan kultural yang dibungkus agama pada dekade 1960-an tersebut memuncak pada Tragedi G30S 1965 dengan akhir yang sangat fatal. Kekerasan politik di tingkat atas, yang kemudian berkembang di tingkat bawah, menjadi perseteruan antara PKI dan NU. Pascatragedi1965 GP. Ansor mulai terlibat aktif dalam serangkaian pembantaian massal antara bulan Oktober hingga Desember 1965. Faktor balas dendam dengan dibumbui masalah politik yang memanas yang mengakibatkan kekerasan dipedesaan di Banyuwangi khususnya di Desa Karangasem.