.
Jas Merah, Jangan Melupakan Sejarah.
Terutama sejarah leluhur.
Waktu telah berlalu, sekian lama telah dilewati dan kejadiannya tercatat dalam sejarah. Sejarahnya ada yang tercatat dalam memori dan diteruskan secara lisan, maupun tersimpan dalam bentuk analog serta digital.
Catatan analog seperti rekaman pita film atau pita kaset suara. Teknologi itu sering kali rusak tanpa arsip yang jelas. Demikian pula catatan sangat penting seperti di Jaman Cleopatra maupun Kerajaan Majapahit hilang tak berbekas. Perpustakaan terbesar dunia dan terlengkap Bibliotheca Alexandrina maupun bebatuan bekas kerajaan Majapahit di desa Trowulan (jawa timur).
.
.
Semua habis dibakar sepanas api dan sebesar dendam perperangan atau dendam musuh bebuyutan.
Lalu ? bagaimana kita dijaman sekarang yang haus terhadap sejarah, dan sayangnya tidak mempunya data data akurat untuk menelusurinya, apalagi memahaminya lebih dalam.
Salah satu teman saya di kompasiana, Bapak Andika, yang selalu membuat atikel beraneka thema, sering membuat saya tergugah. Kali ini saya jadi tergugah pula yang berkaitan sejarah di era abad 17.
Lepas dari artikel bapak Andika, saya pun ingin sekali memahami situasi bisnis di Batavia pada saat itu. Karena era abad 17 menurut saya semacam era globalisasi dunia seperti saat ini. Dimana perdagangan sangat maju dan saling tukar menukar barang dalam dunia bisnis. Termasuk 6 generasi diatas saya mulai datang dari daratan China menuju Indonesia dengan kapal dagangnya.
.
Jejak leluhur kami, masih jelas tertulis di papan leluhur dan lokasi pendaratannya leluhur kami telah menjadi Vihara terkenal di daerah Krawang, tepatnya di tanjung pura.
Artikel ini selain ditulis untuk Bapak Andika juga untuk anak anak kami, sehingga paham tentang sejarah dan situasi perdagangan saat itu. Karena ditempat itu menjadi urat nadi kejayaan Maskapai Citarum. Dahulu kala arti Maskapai adalah company atau enterprise.
Yah… itulah salah satu sejarah perusahaan yang sangat besar di pesisir sungai Citarum yang pernah dimiliki leluhur kami. Dan hilang pula sejarahnya ditelan waktu.
.
Kembali ketema Kampung Melayu, bahwa abad ke 17 adalah era perdagangan yang luar biasa majunya.
VOC, Portugis, (Eropa), China, Arab, Amerika, Mesir melakukan gerakan keliling dunia untuk mencari bisnis yang lebih luas. Mungkin Indonesia menjadi tujuan bisnis abad ke 17 akibat kebesaran kerajaan Majapahit yang pernah sangat luas sampai meliputi daratan Tiongkok maupun Semenanjung Malaya (sekarang menjadi Negara Malaysia dan Singapura)
Di Era abad ke 17, jaman globalisasi, banyak pebisnis datang ke Batavia, termasuk leluhur kami dan juga dari Malaysia, terutama yang disebut orang Melayu.
.
Orang China membuat kelompok tersendiri di pusat kota Batavia, yang sekarang menjadi Glodok (Kota tua Batavia). Didaerah itu dahulu kala ada pintu kecil dan pintu besar. Pintu besar untuk gerobak dan pintu kecil untuk pejalan kaki. Pintu masuk ini juga sebagai perisai seperti tembok China untuk melindungi para penduduk didalam area pecinan.
Sedangkan orang Melayu tinggal di daerah yang awalnya hutan dan yang dibangun oleh Cornelis Senen. Jadi tidak heran pula ada pasar Senen dekat proyek Senen (Atrium). Ternyata nama Senen bukan datangnya dari nama hari (senin), tetapi dari nama orang portugis, Cornelis Senen.
(Sesuai catatan bahwa Cornelis Senen datang ke Batavia sekitar tahun 1620 an)
Dengan berjalannya waktu sesuai jaman bisnis globalisasi datanglah para pedagang, termasuk leluhur kami di awal tahun 1700an dari Tiongkok (Maksud kami Marga KHOUW).
Sedangkan diwaktu yang hampir bersamaan di abad 17 datang warga Melayu (sekarang Malaysia) dibawah pimpinan Kapten Wan Abdul Bagus. (menurut catatan, beliau meninggal tahun 1716)
Dengan demikian kami mulai memahami pola keturunan marga kami di Tanjung Pura hampir hampir sama juga warga Melayu di lokasi yang di bangun Cornelis Senen. (sekarang Kelurahan Kampung Melayu, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur).
Berubah dari Meester Cornelis Senen menjadi Jatinegara (untuk mengantikan yang berbau eropa menjadi nasional, barangkali artinya jati nya Negara karena pertempurannya sampai bisa dilacak sampai ke eropa). Bisa di dibaca juga dalam artikel Felix dengan judul “Jatinegara, saksi oerang terbesar Napoleon di Asia”
Perubahan jaman menyebabkan pembauan terjadi. Baik keturunan marga kami di Tanjung Pura maupun di Kampung Melayu, menjadi beranak pinak. Waktu berjalan terus dan budaya masing masing tetap masih melekat di daerah Tanjung Pura maupun di Kampung Melayu.
Tentu saja, tiap tiap daerah yang mempunyai kebanggan tersendiri akan terus diceritakan dan diabadikan. Sehingga penduduk setempat atau keturunannya masih mempertahankan atribut atau tata bahasa seharian nya.
Tidak heran pula, seperti daerah Condet untuk melestarikan budaya betawi asli.
Pecinan glodok untuk wisata budaya china
Kampung Bugis yang dihuni awalnya orang pendatang bugis.
Kampung Makassar dan banyak lagi nama nama ke daerahan.
Termasuk dahulu kala banyak orang Arab tinggal dan berjualan di Pasar Baru.
Yang kami tidak ketahui, apakah Kapten Wan Abdul Bagus berasal juga dari Kampung Melayu Majidee yang berlokasi di Johor Baru, Johor, Malaysia.
Sedangkan leluhur kami jelas datang dari Desa Dabu, Provinsi Guangdong, China Selatan.
Dan sekarang kamipun jelas bahwa cerita sejarah kami yang terputus, tentang leluhur dalam perjalanan antara Tanjung Pura – Priang (lewat Daan Mogot) berhenti berbisnis di Batavia. Dan selain berbisnis dengan pribumi Indonesia, Belanda, Eropa juga diceritakan berbisnis dengan orang Melayu.
Ternyata di sinilah lelur kami bertamu dan berbisnis di Kampung Malayu, yang sekarang Jatinegara.
Dicerikana pula bahwa tahun 1925an kakek saya dari Tanjung Pura (Krawang) dengan kendaraan mobil menuju Priang harus berhenti di permukiman Melayu untuk membelikan hadiah pernikahan. Pernikahan yang sangat besar untuk mempersunting gadis Priang (sekarang Serpong dan masih ada rumah sangat tua dari kayu jati dan pernah dibuat shooting film di Pitung). Waktu itu saya binggung, mobilnya lewat mana? Ternyata lewat jalan Raya Daendels (Senen – Jatinegara)
Semoga Kampung Melayu tidak terus melayu (me-layu) akibat tergerus usia.
Memang menurut hemat saya perlu pula di lestarikan daerah bersejarah sebagai wisata daerah.
Semoga pula terjadi sinergi antara Kampung Melayu di Jakarta dengan Kampung Melayu di Johor.
Tidaklah penting mencari perselisihan antara Indonesia dan Malaysia.
Leluhur kami pernah mendidik ilmu kesehatan untuk warga Malaysia. Sedangkan saya pribadi pernah pula mendidik warga Malaysia.
Dan saat ini satu anak saya sedang kuliah di Malaysia.
Pemerintah kita lebih banyak berfokus pada hal yang lebih mendesak, sehingga banyak yang dilupakan. Dengan mengingat sejarah, mungkin saja kedua Negara bisa saling mengerti dan saling paham sehingga hidup lebih nikmat dan damai.
Marilah kita jaga hubungan erat yang pernah di lakukan oleh Hayam Wuruk yang berkuasa di tahun 1350 – 1389.
Semoga hubungan kedua Kampung Melayu tidak me-layu dimakan jaman.
Semoga tiap saat bapak ANdika perpanjangan KTP lebih terlihat harmonisasi antara Kampung Melayu di Jakarta dan di Johor. Mudah mudahan bisa menjadi sister city atau semacam itulah.
Dokter Kusmanto