Rasulullah Saw memerintah umat Islam hijrah ke Madinah secara sembunyi-sembunyi, malam hari, dan tidak melalui jalan semestinya. Dan dilakukan dengan cara bertahap agar tidak diketahui oleh tokoh-tokoh kafir.
Bagi masyarakat Makkah merupakan masalah besar. Ada keluarga yang belum masuk Islam, sementara jika istri yang sudah masuk Islam secara sembunyi-sembunyi, dia juga ikut hijrah. Jika diketahui suaminya, ia langsung di kurung dan disiksa habis-habisan. Dan yang belum diketahui masih banyak lagi. Termasuk melebar urusan keluarga (bani), jika ada keluarganya yang masuk Islam dan ikut hijrah, maka tidak sedikit cacian dan siksaan. Dan tidak sedikit juga keluarga kafir (yang sudah masuk islam secara sembunyi) yang ikut hijrah. Hal ini menyisahkan permasalahan-permasalahan baru di kalangan umat Islam Madinah dan masyarakat yang masih kafir di Makkah.
Permasalahan ini kian kuat ketika Nabi Saw dan umat Islam di Madinah sudah 6 tahun. Mereka rindu dengan tanah air. Nabi Muhammad Saw dan umat Islam pun ingin haji ke Makkah. Sejarah ini sangat panjang. Dan intinya Nabi Muhammad dan Umat Islam tidak boleh naik haji tahun ini karena terikat dengan perjanjian.[1] Diantara isi perjanjian (Hudaibiyah) yang lain; 10 tahun tidak boleh ada gencatan senjata. Dalam kurun waktu perjanjian ini, jika ada orang kafir ke Madinah dan masuk Islam tanpa seizin keluarganya, maka orang itu wajib dikembalikan ke keluarganya. Tidak boleh masuk islam. Dan jika ada umat Islam yang kembali ke Makkah (murtad), maka pihak kafir tidak wajib mengembalikan kepada Muhammad Saw. Walaupun berat sebelah, Nabi Muhammad Saw tetap menerima perjanjian ini.
Dalam hitung-hitungan sosial politik dan sosial kemasyarakatan, maka masyarakat Makkah sudah bisa memprediksi bahwa kaum Quraisy Makkah sudah lemah, dan umat Islam di Madinah semakin kuat. Maka tidak sedikit masyarakat Makkah yang non Muslim diam-diam pergi (hijrah) ke Madinah.
Karena sesuai perjanjian —pada jeda perjanjian ini— masuk Islam tanpa seizin wali atau keluarga akan ditolak, maka Nabi Muhammad Saw (menghormati ikrar Hudaibiyah itu), dan mengembalikan orang itu ke Makkah.
Dari sini muncul kesenjangan sosial dan makar yang dilakukan oleh masyarakat. Sebagian masyarakat Makkah kembali ke Makkah, dan sebagian lagi ada yang tidak mau kembali ke Makkah. Mereka tetap masuk Islam dan tidak mau kembali ke Makkah. Dan sebagian dari mereka juga ada yang kritis dan mengecam kedua-duanya. Masyarakat ini tidak mau kembali ke Makkah demi mempertahankan Islam, dan ada yang kecewa terhadap Islam dan pihak kafir. Mereka berada di suatu tempat antara Mekkah dan Madinah. Mereka mengacau. Kehidupan mereka rusak karena kecewa dengan sikap perjanjian itu. Gerombolan ini melakukan perampokan, pencurian, dan menjadi pengganggu jalan bagi para pedagang yang melintas ke wilayah Syam. Mereka tetap berpegang teguh terhadap agama Islam, namun kekecewaan terhadap sikap politis ini lahir vandalism-vandalism Islam baru yang berniat merusak tanpa membedakan orang kafir atau umat islam.
Mereka menjadi perampok atas akibat sikap politik yang kurang adil terhadap masyarakat.
Akan tetapi Allah membuka pintu Rahmat-Nya. Perjanjian kiranya 10 tahun, namun baru setahun pihak kafir Quraisy melanggar perjanjian Hudaibiyah. Sekutu mereka menyerang sekutu umat Islam. Maka tahun ke depannya umat Islam langsung berbondong-bondong ke Makkah menaklukkan kota Makkah (Fathul Makkah) tanpa peperangan atau tanpa syarat lainnya. Termasuk komplotan perampok yang kurang jelas itu, dada mereka kembali muslim, dan ikut bergabung dengan umat Islam pergi ke Makkah menaklukkan kota Makkah tanpa peperangan. Tidak ada darah dan pedang ! Dan masyarakat Makkah menutup pintu dan berbondong-bondong masuk Islam.
Wallahu a’lam bish shawwwab !Dan masih banyak lagi detail-detail kisah yang miris yang dialami oleh umat Islam menghadapi kesombongan orang-orang kafir. (Bisa dilihat dari Karya Haikal yang mengupas “Sejarah Hidup Muhammad.” Adapun tentang komplotan perampok diambil dari kitab aslinya yang lain.)
Fatih