JAMAN PAJAJARAN (1482 – 1579)
A. KAWALI IBUKOTA BARU
Bila rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia tumbuh secara bersangsur-angsur, ini mudah dipahami karena banyaknya kelompok etnik yang menjadi penduduk Indonesia. Rasa kesatuan etnik Sunda di Jawa Barat pun tidak tumbuh serempak, melainkan berangsur-angsur.
Telah dikemukakan bahwa keturunan Manarah yang laki-laki terputus sehingga pada tahun 852 Tahta Galuh jatuh kepada keturunan Banga, yaitu Rakeyan Wuwus yang beristrikan puteri keturunan Galuh. Sebaliknya adik perempuan Rakeyan Wuwus menikah dengan putera Galuh yang kemudian menggantikan kedudukan iparnya sebagai Raja Sunda IX dengan gelar PRABU DARMARAKSA BUANA. Kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan waktu itu belum dapat diterima secara umum, sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan Tamperan sebagai orang Sunda di Galuh. Prabu Darmaraksa (891 – 895) dibunuh oleh seorang menteri
Sunda yang fanatik.
Karena peristiwa itu, tiap Raja Sunda yang baru selalu memperhitungkan tempat kedudukan yang akan dipilihnya menjadi pusat pemerintahan. Dengan demikian, pusat pemerintahan itu berpindah-pindah dari barat ke timur dan sebaliknya. Antara tahun 895 sampai tahun 1311 kawasan Jawa Barat diramaikan sewaktu-waktu oleh iring-iringan rombongan raja baru yang pindah tempat.
Ayah Sri Jayabupati berkedudukan di Galuh, Sri Jayabupati di Pakuan, tetapi puteranya berkedudukan di Galuh lagi. Dua raja berikutnya (Raja Sunda ke-22 dan ke-23) memerintah di Pakuan. Raja ke-24 memerintah di Galuh dan raja ke-25, yaitu PRABU GURU DARMASIKSA mula-mula berkedudukan di Saunggalah, kemudian pindah ke Pakuan. Puteranya (PRABU RAGASUCI) berkedudukan di Saunggalah dan dipusarakan di Taman, Ciamis.
[Proses kepindahan seperti ini memang merepotkan (menurut pandangan kita), namun pengaruh positifnya jelas sekali dalam hal pemantapan etnik di Jawa Barat. Antara Galuh dengan Sunda memang terdapat kelainan dalam hal tradisi. Anwas Adiwijaya (1975) mengungkapkan bahwa orang Galuh itu "orang air", sedang orang Sunda "Orang Gunung". Yang satu memiliki "mitos buaya", yang lain "mitos harimau".]
[Di daerah Ciamis dan Tasikmalaya masih ada beberapa tempat yang bernama PANEREBAN. Tempat yang bernama demikian pada masa silam merupakan tempat melabuhkan (nerebkeun) mayat karena menurut tradisi Galuh, mayat harus "dilarung" (dihanyutkan) di sungai. Sebaliknya orang KANEKES yang masih menyimpan banyak sekali "sisa-sisa" tradisi Sunda, mengubur mayat dalam tanah. Tradisi "nerebkeun" di sebelah timur dan tradisi "ngurebkeun" di sebelah barat (membekas dalam istilah PANEREBAN dan PASAREAN)].
[Peristiwa sejarah telah meleburkan kedua kelompok sub-etnik ini menjadi satu "Orang Air" dengan "Orang Gunung" itu menjadi akrab dan berbaur seperti dilambangkan oleh dongen "SAKADANG KUYA jeung SAKADANG MONYET" (kura-kura dan monyet). Dongeng yang khas Sunda ini sangat mendalam dan meluas dalam segala lapisan msyarakat, padahal mereka tahu, bahwa dalam kenyataan sehari-hari Monyet dan Kuya (kura-kura) itu bertemu saja mugkin tidak pernah (di Kebun Binatang pun tidak pernah diperkenalkan).
Dalam abad ke-14 sebutan SUNDA itu sudah meliputi seluruh Jawa Barat, baik dalam pengertian WILAYAH maupun dalam pengertian ETNIK. Menurut PUSTAKA PARATWAN i BHUMI JAWADWIPA, parwa I sarga 1, nama Sunda mulai digunakan oleh Purnawarman untuk Ibukota Tarumanagara yang baru didirikannya (SUNDAPURA). Idealisme kenegaraan memang terpaut di dalamnya karena SUNDAPURA mengandung arti KOTA SUCI atau KOTA MURNI, sedangkan GALUH berarti PERMATA atau BATU MULIA (secar kiasan berarti GADIS)].
2. Peran bergeser ke timur
Dalam abad ke-14 di timur muncul kota baru yang makin mendesak kedudukan Galuh dan Saunggalah, yaitu KAWALI (arti Kuali atau Belanga). Lokasinya strategis karena berada di tengah segitiga Galunggung, Saunggalah dan Galuh. Sejak abad XIV ini Galuh selalu disangkutpautkan dengan Kawali. Dua orang Raja Sunda dipusarakan di WINDURAJA (sekarang bertetangga desa dengan Kawali).
Sebenarnya gejala pemerintahan yang condong ke timur sudah mulai nampak sejak masa pemerintahan PRABU RAGASUCI (1297 – 1303). Ketika naik tahta menggantikan ayahnya (PRABU DARMASIKSA), ia tetap memilih SAUNGGALAH sebagai pusat pemerintahan karena ia sendiri sebelumnya telah lama berkedudukan sebagai raja di timur. Tetapi pada masa pemerintahan puteranya PRABU CITRAGANDA, sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan.
[RAGASUCI sebenarnya bukan putera mahkota karena kedudukanya itu dijabat kakaknya RAKEYAN JAYADARMA. Menurut PUSTAKA RAJYARAJYA i BHUMI NUSANTARA parwa II sarga 3, JAYADARMA adalah menantu MAHISA CAMPAKA di Jawa Timur karena ia berjodoh dengan DYAH SINGAMURTI alias DYAH LEMBU TAL. Mereka berputera SANG NARARYA SANGGRAMAWIJAYA atau lebih dikenal dengan nama RADEN WIJAYA (lahir di PAKUAN). Karena Jayadarma wafat dalam usia muda, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya Wijaya dan ibunya diantarkan ke Jawa Timur. Dalam BABAD TANAH JAWI, Wijaya disebut pula JAKA SUSURUH dari PAJAJARAN yang kemudian menjadi Raja MAJAPAHIT yang pertama. Kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putera mahkota karena Wijaya berada di Jawa Timur]
Prabu Darmasiksa kemudian menunjuk putera Prabu Ragasuci sebagai calon ahli warisnya yang bernama CITRAGANDA. Permaisuri Ragasuci adalah DARA PUSPA (Puteri Kerajaan Melayu) adik DARA KENCANA isteri KERTANEGARA. Citraganda tinggal di Pakuan bersama kakeknya. Ketika Prabu Darmasiksa wafat, untuk sementara ia menjadi raja daerah selama 6 tahun di Pakuan (ketika itu Raja Sunda dijabat ayahnya di Saunggalah). Dari 1303 sampai 1311, Citraganda menjadi Raja Sunda di Pakuan dan ketika wafat ia dipusarakan di Tanjung.
PRABU LINGGA DEWATA (putera Citraganda) mungkin berkedudukan di Kawali. Yang pasti, menantunya PRABU AJIGUNA WISESA (1333 – 1340) sudah berkedudukan di Kawali dan sampai tahun 1482 pusat pemerintahan tetap berada di sana. Bisa disebut bahwa tahun 1333 – 1482 adalah JAMAN KAWALI dalam sejarah pemerintahan di Jawa Barat dan mengenal 5 orang raja.
Lain dengan Galuh, nama Kawali terabadikan dalam dua buah prasasti batu peninggalan PRABU RAJA WASTU yang tersimpan di “ASTANA GEDE” Kawali. Dalam prasasti itu ditegaskan “mangadeg di kuta Kawali” (bertahta di kota Kawali) dan keratonnya disebut SURAWISESA yang dijelaskan sebagai “Dalem sipawindu hurip” (keraton yang memberikan ketenangan hidup).
Prabu Raja Wastu atau NISKALA WASTU KANCANA adalah putera PRABU MAHARAJA LINGGA BUANA yang gugur di medan BUBAT dalam tahun 1357. Ketika terjadi PASUNDAN BUBAT usia Wastu Kancana baru 9 tahun dan ia adalah satu-satunya ahli waris kerajaan yang hidup karena ketiga kakaknya meninggal. Pemerintahan kemudian diwakili oleh pamannya MANGKUBUMI SURADIPATI atau PRABU BUNISORA (ada juga yang menyebut PRABU KUDA LALEAN, dalam BABAD PANJALU disebut PRABU BOROSNGORA. Selain itu ia pun dijuluki BATARA GURU di Jampang karena ia menjadi pertapa dan resi yang ulung). Mangkubumi Suradipati dimakamkan di Geger Omas.
Setelah pemerintahan di jalankan pamannya yang sekaligus juga mertuanya, Wastu Kancana dinobatkan menjadi raja pada tahun 1371 pada usia 23 tahun. Permaisurinya yang pertama adalah LARA SARKATI puteri Lampung. Dari perkawinan ini lahir SANG HALIWUNGAN (setelah dinobatkan menjadi Raja Sunda bergelar PRABU SUSUKTUNGGAL). Permaisuri yang kedua adalah MAYANGSARI puteri sulung Bunisora atau Mangkubumi Suradipati. Dari perkawinan ini lahir NINGRAT KANCANA (setelah menjadi penguasa Galuh bergelar PRABU DEWA NISKALA).
Setelah Wastu Kancana wafat tahun 1475, kerajaan dipecah dua diantara Susuktunggal dan Dewa Niskala dalam kedudukan sederajat. Politik kesatuan wilayah telah membuat jalinan perkawinan antar cucu Wastu Kencana. [JAYADEWATA, putera Dewa Niskala], mula-mula memperistri AMBETKASIH (puteri KI GEDENG SINDANGKASIH), kemudian memperistri SUBANGLARANG (puteri KI GEDENG TAPA yang menjadi Raja Singapura). [Subanglarang ini keluaran pesantren Pondok QURO di PURA, Karawang. Ia seorang wanita muslim murid SYEKH HASANUDIN yang menganut MAHZAB HANAFI. Pesantren Qura di Karawang didirikan tahun 1416 dalam masa pemerintahan Wastu Kancana. Subanglarang belajar di situ selama 2 tahun. Ia adalah nenek SYARIF HIDAYATULLAH] Kemudian Jayadewata mempersitri KENTRING MANIK MAYANG SUNDA puteri Prabu Susuktunggal. Jadilah antara Raja Sunda dan Raja Raja Galuh yang seayah ini menjadi besan]
3. Ibukota kembali ke Pakuan
Kejatuhan PRABU KERTABUMI (BRAWIJAYA V) Raja Majapahit tahun 1478 telah mempengaruhi jalan sejarah di Jawa Barat. Rombongan pengungsi dari kerabat keraton Majapahit akhirnya ada juga yang sampai di Kawali. Salah seorang diantaranya ialah RADEN BARIBIN saudara seayah PRABU KERTABUMI. Ia diterima dengan baik oleh Prabu Dewa Niskala bahkan kemudian dijodohkan dengan RATNA AYU KIRANA (puteri bungsu Dewa Niskala dari salah seorang istrinya), adik RADEN BANYAK CAKRA (KAMANDAKA) yang telah jadi raja daerah di Pasir Luhur. Disamping itu Dewa Niskala sendiri menikahi salah seorang dari wanita pengungsi yang kebetulan telah bertunangan. [Dalam Carita Parahiyangan disebutkan "estri larangan ti kaluaran". Sejak peristiwa Bubat, kerabat keraton Kawali ditabukan berjodoh dengan kerabat keraton Majapahit. Selain itu, menurut "perundang-undangan" waktu itu, seorang wanita yang bertunangan tidak boleh menikah dengan laki-laki lain kecuali bila tunangannya meninggal dunia atau membatalkan pertunangan]
Dengan demikian, Dewa Niskala telah melanggar dua peraturan sekaligus dan dianggap berdosa besar sebagai raja. Kehebohan pun tak terelakkan. Susuktunggal (Raja Sunda yang juga besan Dewa Niskala) mengancam memutuskan hubungan dengan Kawali. Namun, kericuhan dapat dicegah dengan keputusan, bahwa kedua raja yang berselisih itu bersama-sama mengundurkan diri. Akhirnya Prabu Dewa Niskala menyerahkan Tahta Kerajaan Galuh kepada puteranya Jayadewata. Demikian pula dengan Prabu Susuktungal yang menyerahkan Tahta Kerajaan Sunda kepada menantunya ini (Jayadewata). Dengan peristiwa yang terjadi tahun 1482 itu, kerajaan warisan Wastu Kencana berada kembali dalam satu tangan. Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai “Susuhunan” karena ia telah lama tinggal di sini menjalankan pemerintahan sehari-hari mewakili mertuanya. Sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan
Bersambung…
By Muhamad Husni Thamrin
Sumber: Saleh Danasasmita. 1983. Sejarah Bogor (Bagan I). PEMDA DT II Bogor.
Muhamad Husni Thamrin created a doc.
B. Raja-raja Pajajaran1. Sri Baduga Maharaja
Jaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja (RatuJayadewata) yang memerintah selama 39 thaun (1482 – 1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar PRABU GURU DEWAPRANATA. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya (Susuktunggal). Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar SRI BADUGA MAHARAJA RATU HAJI di PAKUAN PAJAJARAN SRI SANG RATU DEWATA. Jadi sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah “sepi” selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat.
(kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda). Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis: “Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira” (Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya).Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan RATU JAPURA (AMUK MURUGUL) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam berbagai hal, orang sejamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi. {Tentang hal ini, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja): “Di medan perang Bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain. Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa. Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat. Kemashurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena itu nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda”}Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan kenyataan sejarah seperti yang diungkapkan di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta (penanggung jawab penyusunan Sejarah Nusantara) menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di bubat, sedangkan penggantinya (“silih”nya) bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, menurut naskah Wastu kancana disebut juga PRABU WANGSISUTAH). Orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah “seuweu” Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat?. Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasan Galuh. Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus “langsung” dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar PRABU, sedangkan Jayadewata bergelar MAHARAJA (sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).Dengan demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai “silih” (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). “Silih” dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana].
Proses kepindahan isteri Ratu Pakuan (Sri Baduga) ke Pakuan terekam oleh pujangga bernama
KAI RAGA di Gunung Srimanganti (Sikuray). Naskahnya ditulis dalam gaya pantun dan dinamai
CARITA RATU PAKUAN (diperkirakan ditulis pada akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18).
Naskah itu dapat ditemukan pada Kropak 410 . Isinya adalah sebagai berikut (hanya
terjemahannya saja):
Tersebutlah Ngabetkasih
bersama madu-madunya
bergerak payung lebesaran melintas tugu
yang seia dan sekata
hendak pulang ke Pakuan
kembali dari keraton di timur
halaman cahaya putih induk permata
cahaya datar namanya
keraton berseri emas permata
rumah berukir lukisan alun
di Sanghiyang Pandan-larang
keraton penenang hidup.
Bergerak barisan depan disusul yang kemudian
teduh dalam ikatan dijunjung
bakul kue dengan tutup yang diukir
kotak jati bersudut bulatan emas
tempat sirih nampan perak
bertiang gading ukiran telapak gajah
hendak dibawa ke Pakuan
Bergerak tandu kencana
beratap cemara gading
bertiang emas
bernama lingkaran langit
berpuncak permata indah
ditatahkan pada watang yang bercungap
Singa-singaan di sebelah kiri-kanan
payung hijau bertiang gading
berpuncak getas yang bertiang
berpuncak emas
dan payung saberilen
berumbai potongan benang
tapok terongnya emas berlekuk
berayun panjang langkahnya
terkedip sambil menoleh
ibarat semut, rukun dengan saudaranya
tingkahnya seperti semut beralih
Bergerak seperti pematang cahaya melayang-layang
berlenggang di awang-awang
pembawa gendi di belakang
pembawa kandaga di depan
dan ayam-ayaman emas kiri-kanan
kidang-kidangan emas di tengah
siapa diusun di singa barong
Bergerak yang di depan, menyusul yang kemudian
barisan yang lain lagi
[yang dikisahkan dalam pantun itu adalah Ngabetkasih (Ambetkasih), isteri Sri BAduga yang pertama (puteri Ki Gedng Sindang Kasih, putera Wastu Kancana ketiga dari Mayangsari). Ia pindah dari keraton timur (Galuh) ke Pakuan bersama isteri-isteri Sri Baduga yang lain]
Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat
Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peniggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):
Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa.
Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan “dasa”, “calagra”, “kapas timbang”, dan “pare dongdang”.
Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegus mengamalkan peraturan dewa.
Dengan tegas di sini disebut “dayeuhan” (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu “dasa” (pajak tenaga perorangan), “calagra” (pajak tenaga kolektif), “kapas timbang” (kapas 10 pikul) dan “pare dondang” (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, “upeti”, “panggeureus reuma”. [Dalam kropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa "kapas sapuluh carangka" (10 carangka= 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.
"Pare dondang" disebut "panggeres reuma". Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan ke- mudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti "tempat tidur" persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang harus selalu di gotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut "dondang" (berayun). Dondang pun khusus dipaka untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, "pare dongdang" atau "penggeres reuma" ini lebih bersifat barang antaran.
Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan "calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya: menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi)]
[Dalam kropak 630 disebutkan "wwang tani bakti di wado" (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah jaman kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna untuk "rodi". Bentuk dasa diubah menjadi "Heerendiensten" (bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah menjadi "Algemeenediensten" (dinas umum) atau "Campongdiesnten" (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan makan. "Preangerstelsel" dan "Cultuurstelsel" yang keduanya berupa sistem tanam paksa memangfaatkan trasisi pajak tenaga ini.
Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi "lakongawe" dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa "puraga tamba kadengda" (bekerja sekedar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban "gebagan" yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat. Jadi "gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa", menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut KARYABHAKTI dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.
Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa "piteket" karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas "kabuyutan" di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" yang disebut juga DESA PERDIKAN (desa bebas pajak).
Untuk mengetahui lebih lanjut kejadian di masa pemerintahan Sri Baduga, marilah kita telusuri sumber sejarah sebagai berikut:
a. Carita Parahiyangan
Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian: "Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa" (Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama)
Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat Pajajaran yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama. Mereka disebut "loba" (serakah) karena merasa tidak puas dengan agama yang ada, lalu mencari yang baru.
b. Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I serga 2
Naskah ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. [Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka di Pajajaran di Bumi Sunda (Jawa Barat)]
Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjada kemungkinan datangnya serangan Pajajaran.
Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Akhirnya Jagabaya menghamba dan masuk Islam.
Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh PUROHITA (pendeta tertinggi) keraton KI PURWA GALIH. [Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang). Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh penguasa Pajajaran]
Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun PAGELARAN (formasi tempur). [Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut.
Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki 6 buah JUNG (adakah yang tahu artinya?) dari 150 ton dan beberala LANKARAS (?) untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun)]
Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada 4 pasangan yang dijodohkan, yaitu
1. Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi)
2. Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor
3. Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun
4. Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa)
[Perkawinan Sabrang Lor (YUNUS ABDUL KADIR) dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai SENAPATI SARJAWALA (Panglima angkatan laut) Kerajaan Demak, ia untuk sementara berada di Cirebon]
Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis ALFONSO d’ALBUQUERQUE di Malaka (ketika itu baru saja merebut Pelabuhan Pasai). Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak.
Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan SEKTOR-SEKTOR PEMERINTAHAN. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak membencinya karena salah seorang permaisurinya (Subanglarang) adalah muslimah dan ketiga anaknya (Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang dan Raja Sangara) diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam).
Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing-masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai jaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar “The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men” (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur). Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.
Naskah KITAB WARUGA JAGAT dari Sumedang dan PANCAKAKI MASALAH KARUHUN KABEH dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa GEMUH PAKUAN (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam jaman Pajajaran.
Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi yang dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut SUSUHUNAN di PAKUAN PAJAJARAN, memerintah selama 39 tahun (1482 – 1521). Ia disebut SECARA ANUMERTA SANG LUMAHING (SANG MOKTENG) RANCAMAYA karena ia dipusarakan di Rancamaya (di sinilah nilai khusus Rancamaya). [Rancamaya terletak kira-kira 7 Km di sebelah tenggara Kota Bogor. Rancamaya memiliki mata air yang sangat jernih. Tahun 1960-an di hulu Cirancamaya ini ada sebuah situs makam kuno dengan pelataran berjari-jari 7.5 m tertutup hamparan rumput halus dan dikelilingi rumpun bambu setengah lingkaran. Dekat makam itu terdapat Pohon Hampelas Badak setinggi kira-kira 25 m dan sebuah pohon beringin.
Dewasa ini seluruh situs sudah "dihancurkan" orang. Pelatarannya ditanami ubi kayu, pohon-pohonannya ditebang dan makam kuno itu diberi saung. Di dalamnya sudah bertambah sebuah kuburan baru, lalu makam kunonya diganti dengan bata pelesteran, ditambah bak kecil untuk peziarah dengan dinding yang dihiasi huruf Arab. Makam yang dikenal sebagai makam Embah Punjung ini mungkin sudah dipopulerkan orang sebagai MAKAM WALI. Kejadian ini sama seperti kuburan Embah Jepra pendiri Kampung Paledang yang terdapat di Kebun Raya yang "dijual" orang sebagai "makam Raja Galuh".
Telaga yang ada di Rancamaya, menurut Pantun Bogor, asalnya bernama Rena Wijaya dan kemudian berubah menjadi Rancamaya. Akan tetapi, menurut naskah kuno, penamaannya malah dibalik, setelah menjadi telaga kemudian dinamai Rena Maha Wijaya (terungkap pada prasasti). "Talaga" (Sangsakerta "tadaga") mengandung arti kolam. Orang Sunda biasanya menyebut telaga untuk kolam bening di pegunungan atau tempat yang sunyi. Kata lain yang sepadan adalah situ (Sangsakerta, setu) yang berarti bendungan.
Bila diteliti keadaan sawah di Rancamaya, dapat diperkirakan bahwa dulu telaga itu membentang dari hulu Cirancamaya sampai ke kaki bukit Badigul di sebelah utara jalan lama yang mengitarinya dan berseberangan dengan Kampung Bojong. Pada sisi utara lapang bola Rancamaya yang sekarang, tepi telaga itu bersambung dengan kaki bukit.
Bukit Badigul memperoleh namanya dari penduduk karena penampakannya yang unik. Bukit itu hampir "gersang" dengan bentuk parabola sempurna dan tampak seperti "katel" (wajan) terbalik. Bukit-bukit disekitarnya tampak subur. Badigul hanya ditumbuhi jenis rumput tertentu. Mudah diduga bukit ini dulu "dikerok" sampai mencapai bentuk parabola. Akibat pengerokan itu tanah suburnya habis.
Bagidul kemungkinan waktu itu dijadikan "bukit punden" (bukit pemujaan) yaitu bukit tempat berziarah (bahasa Sunda, nyekar atau ngembang=tabur bunga). Kemungkinan yang dimaksud dalam "rajah Waruga Pakuan" dengan Sanghiyang Padungkulan itu adalah Bukit Badigul ini.
Kedekatan telaga dengan bukit punden bukanlah tradisi baru. Pada masa Purnawarman, raja beserta para pembesar Tarumanagara selalu melakukan upacara mandi suci di Gangganadi (Setu Gangga) yang terletak dalam istana Kerajaan Indraprahasta (di Cirebon Girang). Setelah bermandi- mandi suci, raja melakukan ziarah ke punden-punden yang terletak dekat sungai.
Spekulasi lain mengenai pengertian adanya kombinasi Badigul-Rancamaya adalah perpaduan gunung-air yang berarti pula SUNDA-GALUH].
Bersambung …
Sumber: Saleh Danasasmita. 1983. Sejarah Bogor (Bagian I). PEMDA DT II Bogor.
1. DASAKRETA ( Kesejahteraan yang sepuluh)
2. TAPA DI NAGARA
3. PANCA PARISUDA
4. HIDUP YANG PENUH BERKAH
5. PARIGEUING dan DASA PASANTA
6. TRITANGTU DI BUMI (tiga posisi di bumi),
dalam kehidupan masyarakat Jawa barat tradisional ada tiga posisi yang menjadi tonggak kehidupan yaitu : RAMA (pendiri kampung yang menjadi pemimpin masyarakat dan keturunannya yang mewarisi), RESI (ulama atau pendeta) dan PRABU(raja, pemegang kekuasaan).
Dalam naskah dianjurkan agar orang berusaha memiliki ” BAYU PINAKA PRABU”(wibawa seorang raja) “SABDA PINAKA RAMA” (ucapan seorang rama) dan “HEDAP PINAKA RESI”(tekad seorang resi).
Tugas ketiga tokoh itu dalam kropak 632 ditegaskan : urusan bimbingan rakyat menjadi tanggung jawab sang rama/pemuka masyarakat, urusan kesejahteraan hidup menjadi tanggung jawab sang resi/ulama, dan urusan pemerintahan menjadi tanggung jawab sang raja/pemegang kekuasaan. Ketiga pemegang posisi ini sederajat karena “pada parwitannya, pada muliyana”(sama asal usulnya, sama mulianya) oleh karena itu diantara ketiganya ” jangan berebut kedudukan, jangan berebut penghasilan, jangan berebut hadiah, maka berbuat mulialah dengan perbuatan, dengan ucapan, dan dengan tekad yang bijaksana, yang masuk akal, yang benar, yang sungguh-sungguh, yang menarik simpati orang, suka mengalah, murah senyum, berseri di hati dan mantap bicara kepada semua orang , tua maupun muda”.
Tri tangtu sebagai sistem kepemimpinan itu masih dilaksanakan di Kanekes. Orang “baduy” menyebutnya TANGTU TELU (tri tangtu). Ketiga PUUN di Kanekes masing masing menempati posisi: Resi (puun Cikertawana), Rama (puun Cikeusik) dan Ponggawa (puun Cibeo). Dalam kehidupan seharihari ketiga Puun itu berkuasa penuh di daerah masing masing. tetapi dalam hal yang umum menyangkut seluruh Kanekes, barulah fungsi Tangtu Telu itu berlaku.
Pada dasarnya ketiga posisi itu terdapat pula dalam masyarakat kita sekarang, yaitu : pemuka masyarakat, ulama dan pemerintah. Apa yang diharapkan dari trio itu pada jaman Siliwangi, rasa rasanya masih diharapkan juga dewasa ini. Tradisi “tidak selamanya usang”. Anggap sajalah semua itu ” wangsit Siliwangi” karena memang ditulis sebagai ” perundang-undangan ” pada jamanya.
Muhamad Husni Thamrin