Syariat dan Seleksi Sejarah

SETELAH merenungi sejarah dan perilaku manusia, Ibnu Khaldun menulis di Mukaddimah bahwa “bangsa yang kalah meniru bangsa yang menang”. Kesimpulan sosiolog muslim ini shahih dan masih berlaku sampai sekarang. Sepertinya sudah Hukum Sejarah kalau negara yang lemah meniru negara yang kuat. Negara lemah tidak meniru negara lemah yang lain. Untuk memperbaiki dirinya, negara berkembang meniru negara maju. Suatu kebodohan jika negara berkembang meniru negara terbelakang.

Peniruan ini sifat alami manusia. Kita cenderung meniru sesuatu yang baik dan berhasil. Sebaliknya, kita cenderung menolak sesuatu yang gagal dan yang tidak memberi manfaat. Menurut Hegel, dari sifat seleksi inilah sejarah manusia bergerak menuju kesempurnaan. Sejarah merupakan sebuah kontes ideologi, kontes sistem, kontes paham, bahkan kontes agama. Hanya yang sesuai dengan fitrah manusia dan semangat zamanlah yang mampu bertahan.

Sehingga semua sistem atau ideologi yang menawarkan janji-janji untuk membangun kehidupan beradab dan sejahtera, harus siap diuji oleh mahkamah sejarah. Jika ternyata gagal memenuhi janji-janjinya, maka sistem atau ideologi itu pasti ditinggalkan manusia. Sebaliknya, jika ia berhasil, sistem atau ideologi itu akan bertahan bahkan terus berkembang, karena ia pasti ditiru oleh orang lain.

Contoh sejarah keberhasilan sebuah sistem adalah Islam pada masa Nabi Muhammad SAW. Agama Islam saat itu mampu menyatukan suku-suku Arab yang saling berperang, mengangkat harkat wanita (sebelum Islam datang, di Arab melahirkan bayi perempuan merupakan suatu aib), membenci perbudakan, dan melindungi kaum tertindas. Meskipun melawan arus masyarakat jahiliah, konsep perdamaian, persaudaraan, persamaan harkat dan martabat manusia yang dibawa Islam itu merupakan nilai universal nan abadi yang tak bisa dibendung. Sudah fitrah manusia menyukai kedamaian dan tidak ingin dianggap “warga kelas dua”, maka budaya jahiliah yang melawan fitrah itu pun gagal melewati seleksi sejarah.

Sebaliknya, contoh suatu sistem ideologi yang gagal adalah sosialis-komunisme. Komunisme yang awalnya menjanjikan kesejahteraan dan “surga dunia” ini akhirnya hanya memunculkan diktatorisme, totalitarianisme, dan kemiskinan. Meskipun sempat berkembang pesat dan ditiru negara lain, marxisme-leninisme mengingkari sifat manusia yang mendambakan kebebasan dan hak kepemilikan. Maka sistem komunisme pun runtuh di paruh abad-20 kemarin.

Sekarang kapitalisme sedang diguncang krisis ekonomi global, sistem raksasa ini sedang menghadapi seleksi sejarah. Jika ia bisa bermutasi dengan mengubah dirinya menjadi sistem yang lebih baik, maka ia akan bertahan. Bila sistem kapital tak mampu memperbaiki diri, ia akan senasib dengan komunisme, kemudian diganti dengan sistem ekonomi baru yang lebih sempurna.

Distopia Syariat
Baru-baru ini muncul anggapan bahwa penyebab penerapan syariat Islam di Aceh tak berjalan maksimal karena ada pencitraan buruk dari kaum intelektual yang mempengaruhi masyarakat dengan gaya pola pemikiran Barat. Untuk menanggulanginya, lalu dianjurkan agar pemerintah bisa menghentikan pengiriman mahasiswa untuk belajar Islam ke dunia Barat dan mengirim ke Timur Tengah (Serambi 17/11/2011).

Pernyataan di atas memberi jawaban yang berlebihan dan terlalu menyederhanakan akar persoalan. Suka atau tidak, seleksi sejarah berlaku bagi semua sistem, termasuk pada pelbagai versi syariat Islam. Panjang nafas syariat Islam sebagai sistem hukum ditentukan oleh sejauh mana ia mampu merealisasikan janjinya sebagai “rahmatan lil alamin”. Jika “sebuah versi” syariat Islam terbukti secara empiris memberikan manfaat, ia akan bertahan dan bahkan ditiru oleh masyarakat non-muslim. Jika ia gagal memberi pengaruh positif, maka ia tak akan bertahan lama, bahkan ditinggalkan oleh muslim sendiri.

Yang memperburuk citra syariat Islam justru orang-orang yang menerapkannya sendiri. Di Afghanistan misalnya, syariat Islam versi Taliban menghendaki pelarangan kerja atau keluar rumah bagi perempuan. Di Arab Saudi, wanita dilarang menyetir mobil. Alhamdulillah sampai saat ini banyak wanita Aceh yang memiliki pekerjaan di luar rumah. Mereka pun tak akan ditangkap aparat karena menyetir mobil. Kenapa Aceh tidak meniru syariat Islam versi ulama Taliban atau Arab Saudi? Karena bagi kita hukum Islam versi mereka justru sebuah distopia, yaitu suatu keadaan yang selalu ingin dihindari manusia karena saking buruknya.

Para orang tua di Aceh menyekolahkan anak perempuannya sampai ke perguruan tinggi agar kelak bisa mandiri dan memberi manfaat kepada sesama manusia, bukan untuk dikurung di dalam rumah. Bagi kita inilah ajaran Islam. Namun bagi Taliban, Islam itu melarang wanita untuk bekerja. Yang dilakukan Taliban adalah penerapan doktrin-doktrin hukum Islam berdasarkan referensi kitab klasik mereka. Niatnya baik, tapi sayang sumber referensi yang dipilihnya tak lagi sesuai dengan semangat zaman maupun konsep negara ideal. Dan versi syariat Islam seperti itulah yang kerap jadi kritikan intelektual muslim.

Dalam ilmu ushul fiqh, ada yang disebut dengan maqashid al-syariah, yaitu ‘tujuan penetapan hukum’. Imam Al-Ghazali dalam bukunya al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, menjabarkan maqashid al-syariah berupa hak hidup (hifzh al-nafs aw al-hayah), hak beragama (hifzh al-din), hak untuk berfikir (hifzh al-‘aql), hak untuk memiliki harta (hifzh al-mal), hak untuk mempertahankan nama baik (hifzh al-‘irdh), dan hak untuk memiliki garis keturunan (hifzh al-nasl). Menurut al-Ghazali, seluruh hukum Islam harus diacukan pada komitmen untuk melindungi hak-hak kemanusiaan ini.

Sebenarnya, jika seluruh undang-undang Syariat di Aceh mampu mengaplikasikan maqashid al-syariah, pasti Syariat Islam versi Aceh akan menjadi percontohan negara hukum sedunia. Sebaliknya, jika undang-undang yang dihasilkan justru bertentangan dengan semangat maqasid al-syariah, lambat laun ia akan ditinggalkan dan hilang diseleksi sejarah, sama seperti yang terjadi di Afghanistan. Ia menjadi distopia, nanti orang-orang akan mengatakan “jangan mau dengan hukum Islam, lihat saja penerapannya di Aceh”.

Jadi, yang penting bukan label “syariat Islam”nya tetapi substansi “maqasid al-syariah”nya. Ada sebuah penelitian yang mengukur indeks keislaman suatu negara dari sudut pandang aplikasi nilai-nilai kesalehan sosial, hasilnya negara yang paling Islami justru Selandia Baru (Kompas, 5/11/2011). Tak heran ada ungkapan “aku temui Islam di Barat tapi sedikit sekali aku temui muslim. Aku temukan banyak muslim di Timur, tapi sulit sekali aku temui Islam”. Usulan pelarangan kuliah ke negara Barat serta mitos seperti “hati-hati kuliah di Barat, nanti dicuci otak” bukan saja menyalahi semangat “tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”, tetapi juga sebuah anti-intelektualisme yang menyalahi maqasid al-syariah, yaitu hak untuk berfikir (hifzh al-`aql)
Muhammad Mirza Ardi