Dr.Ahmad Shukri dari The University of Jordan

1343306900616264753

Seberapa tersinggungkah umat Islam Indonesia tentang kezaliman terhadap muslim Rohingya yang, selain tak terekspos ke luar secara normal akibat policy media mainstream, juga tak mendapat perhatian dunia? Jangan-jangan kita sudah lebih asyik berburu objek yang tak jelas: teroris

Senin sore pekan ini sekitar pukul 16.30 Dr.Ahmad Shukri, Director of Islamic Cultural Centre dari The University of Jordan datang ke kantor Pimpinan Muhammadiyah Wilayah Sumatera Utara di Jalan Sm Raja Nomor 12 A Medan. Ia ditemani oleh sejumlah aktivis Indonesia yang bernaung dibawah wadah Komite Nasional untuk Rakyat Palestina. Karena agendanya yang ketat, ia dan para pendampingnya tidak sempat berbuka puasa di Muhammadiyah.




Misi utama Dr Ahmad Shukri ialah menggalang ukhuwah (solidaritas) dan kepedulian sesama atas nasib bersama, terutama tentang Palestina. Baginya, dan bagi kebanyakan orang di Indonesia, masalah Palestina tentu bukanlah masalah sebuah bangsa (Palestina) belaka. Ia (Palestina) telah menjadi noktah buruk yang berkepanjangan dalam peragaan kecamuk internasional yang melandaskan berbagai kepentingan dalam pola-pola hubungan yang bukan saja tak adil, melainkan lebih pantas disebut menindas. Tulisan ini merupakan catatan penulis dari perbincangan dengan Dr Ahmad Shukri dengan sedikit rujukan pada buku (terjemahan Heri Effendi Lc) kecil yang ia bawa berjudul “Keutamaan Baitul Maqdis & Al-Aqsha”.


Baitul Maqdis & Al-Aqsha. Sejarah telah mencatatkan kedudukan penting Palestina dalam perkembangan Islam, tak terkecuali sejarah kerasulan Muhammad SAW. Bagi umat Islam kedua situs sakral itu tidak hanya menjadi satu examplaar tentang bukti sejarah dakwah dan perjuangan para Nabi dan segenap generasi penerusnya. Keduanya juga menjadi ikon atau simbol harga diri (dignity) dan kemuliaan umat.



Kiblat pertama umat Islam adalah mesjid Al-Aqsha itu. “Dulu kami shalat bersama rasulullah selama berbilang bulan menghadap ke Baitul Maqdis. Lalu setelah itu kami shalat beralih menghadap ka’bah”. Itulah sepenggal hadists (perkataan, tindakan dan sikap setuju atau negasi nabi Muhammad yang dibukukan) riwayat (dituturkan berdasarkan penelitian ilmiah yang bermetoda amat ketat) muhaddatsain (dua perawi hadists paling terkemuka) yakni Bukhari dan Muslim.


Apakah Allah tak memiliki sesuatu maksud untuk scenario perkiblatan ini? Bayangkan sebagai simbol penyatuan utuh umat Islam dunia melalui ibadah wajibnya (shalat) 5 kali dalam sehari, itu bukan sembarangan. Menundukkan tubuh, bersimpuh, berdoa dan mengakui kedhaifan (ketak-berdayaan) di depan Al-khaliq (sang pencipta). Allah memuliakan tempat ini dan memberi keberkahan kepadanya. Berkah yang mungkin saja hingga kini belum gomos (sepenuhnya terungkap) oleh keterbatasan kemampuan nalar hipotetikal maupun esposed facto empirikal. Memang suatu ketika dalam sebuah diskusi tentang Isra’ dan Mi’raj Nabi pada akhir tahun 70-an, ilmuan autodidak almarhum HM Joesof Sou’yb cuma mampu membuat sekadar sebilah prasangka tentang keberkatan itu. Katanya, selain memang jelas menjadi arena kesejarahan bagi umat dan para utusan Allah, negeri-negeri di sekitar itu memang penuh misteri, bukan saja karena sumberdaya alam yang kerap menjadi sumber pertengkaran berdarah.



Al-Aqsha adalah mesjid tertua kedua di permukaan bumi setelah Masjidil Haram, sebagaimana dipertegas oleh sebuah hadits lainnya yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Nasa’i. Rasulullah Muhammad SAW menjalani peristiwa Isra’ dan Mi’raj pada tahun 621, tepatnya beberapa bulan sebelum peristiwa hijrah (berpindah secara kolektif) ke Madinah. Inilah penegasan Al-qur’an pada surah Al-Isra ayat (1): “Maha suci Allah yang telah memperjalankan Muhammad pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagiabn dari tanda-tanda kebesaran kami (Allah). Sesungguhnya dia adalah Maha mendengar lagi maha mengetahui”.


Di mana saja seorang muslim yang ta’at bisa melalukan shalat (‘ainama kuntum fawallu wujuhakum syathrah). Tetapi keyakinan umat Islam tidak tergoyahkan atas kelipat-gandaan pahala yang akan diterimanya dari Allah jika melaksanakan ibadah shalat di sini dan di beberapa mesjid lain yang direkomendasikan kuat untuk diziarahi. Atas dasar keyakinan kesucian dan kedudukan yang amat mulia itu kaum muslimin di seluruh dunia beranggapan bahwa Baitul Maqdis adalah merupakan kawasan yang sangat agung. Tempat yang penuh berkah dan sakral.


Meluruskan Kesimpangsiuran. Dalam naskah “Keutamaan Baitul Maqdis & Al-Aqsha” ditegaskan bahwa Baitul Maqdis adalah warisan umat Islam. Merekalah ahli waris sesungguhnya atas warisan nabi Dawud ini, Nabi Sulaiman serta para nabi dan salafushaleh lainnya. Mereka yanag pernah berkuasa dan memerintah di Baitul Maqdis dan Palestina puluhan abad lamanya di bawah panji tauhid (keyakinan akan kemahatunggalan Tuhan). Kaum muslimin dunia yakin bahwa Bani Israel yang mengklaim lebih berhak terhadap Baitul Maqdis dan Palestina telah jauh menyimpang dari jalan dan sejarah yang benar. Mereka merubah dan mengotak-ngatik kitab-NYA, mengusir dan membunuh para nabi mereka dan melakukan berbagai bentuk kezaliman.



Tetapi ada hal yang menyedihkan. Syeikh Raid Shalah mengaku telah menemukan ketidak-fahaman dan ketidak-tahuan yang meluas tentang apa yang dimaksud dengan Masjid Al-Aqsha. Berapa luasnya dan bangunan apa saja yang ada di dalamnya. Menurut Syeihk Raid Shalah, sebagian umat Islam menganggap bahwa Al-Aqsha itu adalah Qubbatush Shakhrah (Dome of The Rock atau yang lazim dijuluki mesjid berkubah kuning emas). Semua kawasan yang ada di dalam batas dinding Al-Aqsha adalah bagian tak terpisahkan dari Al-Aqsha itu. Bahkan dindingnya itu sendiri merupakan bagian dari Al-Aqsha. Perombakan dan pengalih-fungsian tembok al-Buraq yang sekarang ini terkenal dengan sebutan “Tembok Ratapan”, bukan saja sebentuk penyesatan yang sistematis dan penistaan yang terus menerus terhadap Al-Aqsha. Juga pengalih-fungsian Madrasyah At-Tankaziyah menjadi barak militer Israel yang sesungguhnya adalah bagian dari Al-Aqsha, harus dipandang sebagai bagian dari penistaan dan penyesatan itu.


Penutup. Kunjungan Dr.Ahmad Shukri ke Indonesia meski tak disambut sehebat penyambutan tokoh-tokoh berpengaruh Barat atau Israel, adalah sebuah urgensi bagi solidaritas umat Islam dunia. Ia bukan tak menyadari perpecahan internal pejuang pembebasan Palestina. Ia pun bukan tak percaya kepada diplomasi yang barang tentu tak bisa mensubordinasikan perlawanan-perlawanan intifadah. Hal yang amat dikhawatirkan dari pergeseran millah (paradgima berfikir) yang semakin westernize dan sekuler ialah tasabbuh (adopsi nilai) yang pada akhirnya meruntuhkan moralitas Islam. Dr.Ahmad Shukri sangat menyadari itu.


Seberapa tersinggungkah umat Islam Indonesia tentang kezaliman terhadap muslim Rohingya yang selain tak terekspos ke luar secara normal akibat policy media mainstream dunia? Jangan-jangan sudah lebih asyik berburu objek yang tak jelas: teroris. Terimakasih, Dr.Ahmad Shukri.



Shohibul Anshor Siregar