[Kisah Ramadhan] Dan Pertempuran yang Menentukan Itupun Pecahlah, di Badar (1

Kisah di bulan Ramadhan:

Dan pertempuran yang menentukan itupun pecahlah, di Badar

(Bagian-1)

Madinah, semenanjung Arabia, 622 M

Kehidupan di kota ini jelas berbeda dengan kehidupan di kota handai taulan, Mekkah. Walau terasa berat karena harus memulai kehidupan dari awal, udara kebebasan dapat sepenuhnya dihirup oleh kaum muslimin, kaum pengikut Nabi Muhammad (saaw*)). Sementara ancaman dari Mekkah tak pernah dapat diabaikan walau satu hari. Kaum Quraisy di Mekkah tak penah dapat tidur barang semalam sebelum risalah ini dapat dipadamkan.

Madinah, sebuah tempat baru sekaligus kehidupan yang baru bagi kaum muslimin. Sebuah kehidupan damai yang tak pernah mereka rasakan selama sepuluh tahun terakhir.

Semua pengikut Muhammad (saaw) ingat perjalanan risalah ini.

Sekira tiga belas tahun ke belakang. Semua berawal dari sosok itu, Muhammad (saaw). Orang yang dulu paling disayangi oleh orang, paling dipercaya, paling dipuji karena budi pekertinya yang luhur dan istimewa. Semua orang tahu dialah yang paling memperhatikan orang miskin dan papa. Semua orang ingin dekat dengannya, ingin menjadi temannya, ingin selalu mendengar kata-katanya yang bijak dan menentramkan.

Sampai suatu hari, dia (saaw) mengaku menerima pesan dari Allah (Tuhan), dan sekaligus dia (saaw) mengaku sebagai utusan Allah. Dia (saaw) menyeru penduduk Mekkah untuk menghentikan penyembahan mereka terhadap tuhan-tuhan mereka, tuhan-tuhan nenek moyang mereka. Tuhan-tuhan yang mereka selalu puja, di sini, di bangunan suci Ka’bah.

Hanya satu Tuhan, kata Muhammad (saaw) sesuai pesan yang ia terima. Dialah Allah Swt, satu Tuhan yang patut disembah. Tiada tuhan selain Dia. Penguasa alam, Penguasa langit dan bumi, Yang Maha Tunggal dan Maha Kekal. Semua orang sama dan sederajat, katanya (saaw) lebih lanjut, yang membedakan dan yang membuat seseorang mulia di hadapan Allah hanyalah tingkat rasa takut dan kedekatan dia pada Allah, serta budi pekertinya terhadap orang lain. Karenanya, tak boleh ada lagi penindasan kaum bangsawan terhadap kaum miskin maupun para budak, tak boleh ada lagi penistaan pada kaum perempuan, dan tak boleh ada lagi penguburan hidup-hidup bayi-bayi perempuan.

Tentu saja, bagaikan petir di siang bolong, seruan itu bagi kaum Quraisy. Tak ada yang ingin mendengar seruannya (saaw) kecuali orang-orang lemah dan miskin. Kebanyakan orang, khususnya para pembesar Quraisy, sejak saat itu memanggil dia (saaw) pembohong, tukang sihir, bahkan orang gila. Panggilan-panggilan yang jelas semua tahu tidak ada dasarnya dan bertolak belakang dengan sifat maupun pekerti Muhammad (saaw), yang mereka kenal sangat baik. Panggilan yang sembarangan mereka lekatkan pada Muhammad (saaw) hanya agar orang tak lagi mendengar kata-katanya (saaw).


Namun, di balik segala penolakan itu, tanpa mengakuinya, orang-orang tahu kebenaran pesan itu. Semua orang tahu bahwa tuhan-tuhan yang dibuat sendiri oleh tangan-tangan mereka dari kayu dan batu itu tak dapat memberi manfaat maupun bala bagi siapapun. Semua orang tahu bahwa Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan segala isinya. Hanya saja, mereka percaya bahwa melalui tuhan-tuhan mereka itulah doa-doa mereka dapat sampai pada Allah, Sang Pencipta.

Semua orang juga tahu bahwa kesewenagan-wenangan dan penindasan pada kaum lemah, bukanlah hal yang benar apalagi manusiawi. Apalagi menguburkan anak perempuan hidup-hidup, suatu praktek turun temuran akibat kebodohan pandangan tentang kedudukan perempuan di masyarakat. Semua orang tahu kebodohan itu, hanya saja sekelompok orang menikmati keadaan bobrok itu untuk kepentingan dan kekayaannya sendiri. Sedang orang yang lemah tak berdaya untuk melawan kebodohan pandangan yang mendasari kezaliman itu.

Semua tahu kebenaran itu. Bukanlah kebenaran itu sendiri yang mereka tentang. Tapi, konsekunsi dari kebenaran itu. Apa jadinya penghidupan mereka, para pembesar Quraisy, kalau mereka tak lagi menjadi tuan rumah bagi ritual keagamaan di Ka’bah, tempat di mana tuhan-tuhan mereka didudukkan. Apa jadinya sumber ekonomi yang mereka dapatkan selama ini dari kunjungan semua umat dari seluruh pelosok semenanjung Arabia untuk melakukan ritual terhadap tuhan-tuhan itu? Dan bagaimana pula nasib posisi politik mereka yang selama ini mereka nikmati dari kedudukan mereka sebagai penjaga Ka’bah.

Bagaimana pula bisa mereka, para pembesar itu, disamakan kedudukannya dengan orang-orang miskin, apalagi budak-budak, juga kaum perempuan, hanya karena perbedaan tingkat kedekatannya pada Allah serta kemuliaan pekertinya? Semua kemewahan yang mereka nikmati selama ini akan hilang dengan sendirinya apabila seruan Muhammad (saaw) untuk menyembah Tuhan Yang Satu itu diikuti. Tak ada lagi posisi ekonomi, sosial dan politik dapat mereka nikmati, kecuali dengan kerja keras dan kejujuran. Ya, kerja keras dan kejujuran, hal-hal yang asing bagi mereka selama ini.

Tak pelak, kecintaan mereka (para pembesar Quraisy) terhadap kedudukan mereka itulah yang menimbulkan penentangan terhadap ajaran Muhammad (saaw). Akibatnya, sejalan waktu dan dengan mulai bertambahnya pengikut Muhammad (saaw), mereka mulai mengancam, menyiksa, bahkan membunuh orang-orang yang mengikuti ajarannya (saaw). Sementara Muhammad (saaw) tak pernah dapat digoyang. Bagaikan batu karang yang kokoh, tak sedikit pun ia (saaw) bergeming ketika dipaksa dengan ancaman untuk menghentikan seruannya.

Demikianlah diingat para pengikut Muhammad (saaw), tiga belas tahun di Mekkah hidup dengan penuh ancaman, siksaan, bahkan pembunuhan. Penderitaan yang sudah tak dapat lagi tertahankan.

Maka, ketika datang permintaan itu beberapa waktu lalu, permintaan sekaligus undangan dari penduduk Yatsrib, agar Muhammad (saaw) pindah ke Yatsrib dan menjadi penengah bagi pertikaian antar suku di kota ini, dirasakan bagaikan tetesan air di padang pasir, bagaikan angin sejuk di tengah terik matahari. Undangan sekaligus janji setia mereka (penduduk Yatsrib) untuk melindungi Muhammad (saaw) seperti halnya mereka melindungi anak dan istri mereka, dengan harga balasan surga yang dijanjikan sang utusan (saaw). Ya, undangan itulah yang mengawali perjalanan itu, perjalanan paling bersejarah bagi pengikut Muhammad (saaw). Hijrah, demikian kemudian perjalanan itu dinamai dan dikenang. Perpindahan dari Mekkah kampung halaman yang mereka cintai, ke Yatsrib, sebuah kota yang baru dan asing. Perjalanan kaki yang berat selama belasan hari dengan hanya beberapa ekor tunggungan pembawa bekal. Menyusur padang pasir di bawah terik matahari dan dengan perbekalan yang minimal. Demi sebuah harapan akan kebebasan dan kehidupan yang lebih baik.

Kota Yatsrib, yang kemudian diberi nama Madinatur Rasul (kota-nya Rasul, sang pembawa risalah), atau disingkat Madinah, adalah kehidupan baru bagi pengikut Muhammad (saaw). Kehidupan baru yang memberikan harapan baru akan kebebasan untuk menjalankan keyakinan dan penyembahan pada Satu Tuhan, dan untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai kebenaran.

— bersambung, insya Allah —

Keterangan :
*) saaw: shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam (semoga shalawat dan salam Allah curahkan padanya dan pada keluarganya)

- artikel ini di-repost dari mail list ITB89

(Teddy Tedjakusuma)