Selama empat hari, pakar sejarah mengungkap berbagai hasil penelitian terbaru tentang sejarah peradaban masing-masing negara.
Sejumlah pembahasan terkait beragam isu di antaranya perbatasan, jender, politik, demokrasi, dan agama diangkat dalam Konferensi International Associations of Historian of Asia (IAHA) ke-22 yang berlangsung di Solo, 2-6 Juli.
Konferensi ini diikuti oleh 400 peserta yang terdiri dari sejarawan, penulis di bidang sejarah dan budaya, juga para ahli dari bidang keilmuan lain, dan peminat sejarah.
Presiden IAHA Azyumardi Azra, menyatakan pada pidato pembukanya, sejarah adalah tolok ukur kemajuan peradaban manusia. Ia mengacu pula pada tema konferensi: Remembering the Past, Experiencing the Present, Exploring the Future.
Selama empat hari Konferensi IAHA ini, pakar sejarah mengungkap berbagai hasil penelitian terbaru tentang sejarah peradaban masing-masing negara, termasuk sengketa perbatasan antar negara.
Menurut ketua panitia konferensi tersebut, Endjat Djaenuderadjat, penyelesaian konflik di perbatasan antar negara, seperti sengketa wilayah Sipadan Ligitan antara Malaysia-Indonesia dan antara Vietnam-Kamboja mengenai daerah perbatasan, disajikan secara objektif. Lengkap dengan data-data sejarah atau dokumen-dokumen sejarah perbatasan negara dan merupakan tema utama.
Sedangkan dalam sesi mengenai pemberdayaan perempuan, arkeolog Teresa de Guzman dan antropolog Mary Jane Louise asal Universitas Filipina memaparkan soal peran perempuan dalam perdagangan jalur maritim Asia Tenggara sejak abad 4 Masehi.
Selain itu, topik budaya dalam pandangan sebagai cagar budaya masa lalu dan tren masa kini, serta sejarah kedokteran dan kepedulian kesehatan (medical history and healthcare) juga menjadi bagian dari pembahasan dalam konferensi. "Subtema itu menarik karena belum pernah diangkat pada konferensi sebelumnya," tambah Endjat.
(Gloria Samantha. Kompas, ANTARA, Solopos)