Bagaimana merasakan masa kolonialisme? mengapa pengalaman masa lalu merupkan collective memory yang menimbulkan trauma bagi orang-orang yang berada dalam posisi terjajah? bagaimana kondisi mereka saat itu? Iklan berikut ini dapat mengetahui dan merasakan betapa pahit dan menderitanya bangsa kita saat penjajahan berlangsung.
|
Perpusatakaan Nasional Republik Indonesia. (diambil dari materi kuliah Teori Sosiologi Kontemporer oleh Pak Ganda Upaya)
Pengalaman Traumatik
Iklan mencari budak diatas menunjukkan bahwa Hindia Belanda (Indonesia) dikuasai secara militer dan politik serta didominasi secara ekonomi sosial dan budaya. Sangat rasis, terlihat bagaimana Belanda sebagai colonizer merupakan kalangan White Supremacy yang sangat arogan sedangkan inlander atau pribumi sebagai colonized kedudukannya hanya sebagai budak dan centeng dengan upah yang dipotong 40 persen, makan 3 kali sehari dan istirahat 1 jam.
Pengalaman pahit juga dirasakan oleh perempuan pribumi kala itu. Banyak perempuan dijadikan gundik atau yang bernasib lebih baik, dijadikan nyai (pengurus rumah tangga). Baik gundik maupun nyai tidak akan dinikahi. Mereka bekerja merangkap pemuas nafsu, atau lebih dimanfaat seperti (maaf) pelacur. Seorang wartawan dan penulis, Henri Baroel melihat kemerosotan moral para pemuda laki-laki lajang yang datang ke Hindia Belanda pada tahun 1900 yaitu dengan mengambil pembantu rumah tangga perempuan untuk dijadikan gundik. Hal ini ditemukan dalam salah satu tulisannya Een Werkkring in Indie : “..yang menjadi kebiasaan para pemuda. Mereka yang mampu kadang-kadang membayar lebih dari seorang pembantu rumah tangga. Atau dua orang pemuda atau lebih yang tidak mampu membayar sendiri-sendiri, mereka tinggal bersama untuk memelihara seorang pembantu rumah tangga. Secara bergiliran mereka menganggapnya sebagai femelle (perempuan) mereka.” Yang menyedihkan, banyaknya laki-laki yang hidup dalam pergundikan, namun tidak menghendaki lahirnya anak sama sekali yang dianggapnya sebagai hal yang mencemaskan. Akibatnya terjadi pengguguran kandungan dalam jumlah besar. Para perempuan pribumi yang dijadikan gundik ini memikul beban ganda yaitu dijajah oleh kekuasaan imperial dan disubordinasikan oleh laki-laki penjajah
Inggris, Prancis, Belanda, Jerman, Spanyol dsb menjajah secara jelas negara-negara jajahannya berdasarkan aspek geografis. Indonesia mendapatkan kemerdekaannya melalui perjuangan dan pertempuran yang sengit. Penjajahan 3,5 abad oleh Belanda dan 3,5 tahun oleh Jepang, membuat bangsa Indonesia bertempur mati-matian. Konsep kemerdekaan dan persatuan tanah air, bangsa dan bahasa dirumuskan sedemikan rupa oleh para pendiri bangsa yang tidak tahan melihat penderitan nasib sesama pribumi yang terjajah.
Gayatri Spivak: “Can the Subaltern Speak?”
Tidak hanya Indonesia, India juga mengalami penjajahan oleh Inggris. Hal ini yang membuat Gayatri Spivak berbicara di Forum International, tentang “Can Subaltern Speak?” tulisan Spivak ini awalnya didasari oleh pengalaman traumatiknya, ketika neneknya, melakukan bunuh diri pada tahun 1926. Sampai beberapa waktu tidak diketahui apa alasannya. Baru kemudian diketahui, bahwa kala itu Bhuvaneswari, nenek Spivak merupakan anggota kelompok yang terlibat dalam perjuangan bersenjata bagi kemerdekaan India. Keputusannya menggantung diri diambil, karena tak mampu melakukan pembunuhan politik yang dipercayakan kelompoknya. Kajian Poskolonialisme Spivak ingin menunjukkan keberadaan Subaltern, yang merupakan kelompok yang opressed atau tertekan sehingga tidak dapat menyuarakan dirinya. “Tidak ada orang tertindas yang bisa bicara. Diberbagai tempat didunia disepanjang sejarah manusia, selalu ada orang-orang yang secara absolut tidak punya suara dan tidak dapat berbicara”.
Subaltern’ yang dimaksud Spivak sebagai subjek yang tertekan, yang pernah dikatakan oleh Antonio Gramsci (1978) mengenai Subaltern Classes. Gambaran kelompok kajian Subaltern memusatkan perhatian pada sejarah, politik, ekonomi dan sosiologi sebagai subalternatif didasarkan sikap, ideologi, dan sistem kepercayaan. Singkatnya kondisi informasi budaya. Konsep subaltern Spivak adalah sebutan untuk keseluruhan subjek yang tertekan, lemah dan bersifat marjinal. Berkaitan dengan budaya, kolonialisme tidak saja terjadi penaklukan fisik, melainkan juga penaklukan pikiran, jiwa dan budaya.
Ketidakmampuan berbicara juga dialami oleh rakyat Mesir ketika dijajah oleh Inggris. Hal ini dikemukakan oleh Edward W Said dalam bukunya Orientalisme. Bagi Said, Orient (Timur) dan Occident (Barat) adalah Biner, atau dua hal yang terdapat dalam orientalisme. Ada barat dan timur, yang pertama menguasai sedang yang kedua, dikuasai. Bagi Inggris saat itu, setiap orang Mesir yang akan berbicara kemungkinan besar adalah seorang penghasut yang akan menimbulkan kesulitan-kesulitan dan bukan seorang pribumi baik-baik yang mau memaafkan dan melupakan “kesulitan-kesulitan” dari dominasi asing. Tergambarkan bahwa hegemoni terjadi di Mesir. Dan hal ini tentu saja tidak akan terjadi bila tidak ada dominasi kekuasaan.
Bagi Spivak, subaltern “tidak layak” mereprentasikan dirinya, kaum terdididik yang dapat merepresentasikannya dengan menyuarakan subaltern sebagai kelompok yang tertindas. Atau para subaltern memerlukan pendidikan yang layak agar dapat besikap kritis. Sejarah negara-negara terjajah harus merepresentasi yang terjajah. Perlu ada remaking history, sejarah ditulis kembali agar trauma bisa hilang.
Dimasa kini, kolonialisasi dapat saja terjadi dalam bentuk “penjajahan” ekonomi, dimana yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin, dan dapat terjadi subalternisasi pada kalangan miskin. Perhatian harus diberikan kepada mereka agar tidak menjadi kelompok yang bungkam, tidak dapat menyuarakan dan memperjuangkan hak dan kepentingannya. Hal ini yang menjadi salah satu perhatian Spivak, dalam artikelnya “Can Subaltern Speak?”. Tidak ada posisi subjek didalam diskursus kolonialisme yang memungkinkan berbicara untuk diri mereka sendiri. Bila kini setelah merdeka masih ada aura kolonialisme dalam bentuk lain, maka seperti yang dikatakan oleh Spivak, bahwa kaum yang terdidik yang harus menyuarakan mereka yang tidak mampu bersuara.
Frantz Fanon adalah salah satu dari pemikir yang mendukung perjuangan dekolonisasi yang terjadi setelah Perang Dunia II. Hidupnya singkat, dan hatinya dicurahkan dalam usaha memperjuangkan kemerdekaan rakyat Aljazair yang saat itu dijajah Perancis. Dia memberi dorongan terhadap kebebasan manusia dalam konteks kolonial. Karya tulisnya telah menjadi teks sentral dalam cara berpikir orang Africa, sebagian besar karena perhatiannya terhadap hibriditas peran dan kreolisasi yang bersifat humanis, anti-kolonial budaya. Hibriditas, khususnya, dipandang sebagai oposisi kontra-hegemonik terhadap praktek kolonial.
Dalam karyanya Peau Noire, masques Blancs (Kulit Hitam, Topeng Putih) , Fanon yang berkulit hitam dan warga negara Prancis ini telah menjadi figur inspirasional yang memberi imajinasi moral untuk keadilan sosial bagi orang-orang memperjuangkan kaum yang terpinggirkan dan tertindas. Hasil karyanya mengartikulasikan humanisme anti-rasis radikal yang melekat baik untuk asimilasi ke arus utama supremasi kulit putih ataupun filsafat reaksioner superioritas hitam.
Inti pemikirannya adalah bahwa tidak ada seorangpun yang memilih dilahirkan dalam keadaan berkulit hitam atau berkulit putih. Namun ketika seseorang dilahirkan dalam keadaan berkulit hitam, itu sudah suatu takdir, tetapi bukan berarti dapat diperlakukan tidak adil atau memiliki stereotip negatif hanya karena kulitnya hitam. Perlakuan ini tidak saja dalam kehidupan sehari-hari, tetapi pencitraan yang buruk juga terdapat dalam kisah, cerita yang ada pada majalah dan media lainnya, bahwa negro itu manusia buruk atau jahat. “In Europe, the black man is the symbol of Evil” .
Fakta bahwa orang kulit putih menganggap diri mereka lebih unggul dibandingkan orang kulit hitam mengharuskan orang kulit hitam membuktikan dirinya agar dapat memiliki kemampuan dalam hal kekeyaan, kemampuan berpikir dan intelektualitas. Hal ini juga tidak lepas dari faktor psiokologis bahwa terdapat alienasi bila orang kulit hitam tidak mendapatkan pengakuan langsung dari realitas sosial dan ekonomi. Ada rasa rendah diri yang terinternalisasi dalam diri orang berkulit hitam.
The black man wants to be like the white man. For the black
man there is only one destiny. And it is white. Long ago the black
man admitted the unarguable superiority of the white man, and
all his efforts are aimed at achieving a white existence.
Have I no other purpose on earth, then, but to avenge the Negro
of the seventeenth century?
In this world, which is already trying to disappear, do I have
to pose the problem of black truth?
Do I have to be limited to the justification of a facial
conformation?
I as a man of color do not have the right to seek to know in
what respect my race is superior or inferior to another race.
I as a man of color do not have the right to hope that in the
white man there will be a crystallization of guilt toward the past
of my race.
I as a man of color do not have the right to seek ways of
stamping down the pride of my former master.
I have neither the right nor the duty to claim reparation for the
domestication of my ancestors.
There is no Negro mission; there is no white burden.
I fi nd myself suddenly in a world in which things do evil; a
world in which I am summoned into battle; a world in which it
is always a question of annihilation or triumph.
I find myself—I, a man—in a world where words wrap
themselves in silence; in a world where the other endlessly hardens
himself.
No, I do not have the right to go and cry out my hatred at the
white man. I do not have the duty to murmur my gratitude to
the white man.
My life is caught in the lasso of existence. My freedom turns me
back on myself. No, I do not have the right to be a Negro.
I do not have the duty to be this or that. . . .
If the white man challenges my humanity, I will impose my
whole weight as a man on his life and show him that I am not
that “sho’ good eatin’” that he persists in imagining.
BY WAY OF CONCLUSION
I fi nd myself suddenly in the world and I recognize that I have
one right alone: That of demanding human behavior from the
other. One
Perspektif Poskolonial Spivak dan Fanon
Baik Spivak maupun Fanon dalam kajian Poskolonial melihat adanya dua kelas yang dibedakan atas status, kedudukan dan kekuasaan. Spivak melihat bahwa kelas subaltern merupakan orang-orang yang tertindas, inferior yang mendapat perlakuan tidak adil dari orang-orang yang menjajah (kolonisasi). Ada trauma yang dialami oleh orang-orang yang terjajah. Spivak memberi istilah subaltern sebagai kelas yang tertekan, dimana dia tidak dapat menyuarakan apa yang dirasakan dan apa yang diinginkannya. Harus ada orang yang merepresentasikan suara mereka. Namun siapa? Karena representasi itu hanya ada pada diri mereka sendiri, dan mereka tidak memiliki kemampuan untuk bersuara Oleh karena itu, perlu ada orang yang dapat membantu “mengeluarkan’ suara mereka dengan jalan meningkatkan kehidupan mereka dengan memberikan pendidikan dan pengetahuan akan hak-hak yang seharusnya mereka peroleh.
Dimasa kini, poskolonialisasi dapat saja terjadi dalam bentuk “penjajahan” ekonomi, dimana yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin, dan dapat terjadi subalternisasi pada kalangan miskin. Perhatian harus diberikan kepada mereka agar tidak menjadi kelompok yang bungkam, tidak dapat menyuarakan dan memperjuangkan hak dan kepentingannya. Mungkin ini salah satu yang dimaksud oleh Spivak, dalam artikelnya “Can Subaltern Speak?”
Fanon juga melihat adanya inferioritas dalam kalangan orang-orang negro, dimana mereka mendapat perlakuan tidak adil dari kalangan orang-orang kulit putih. Kesan buruk, jahat dan bodoh seringkali digambarkan oleh orang kulit putih terhadap mereka. Adanya dominasi dan kekuasaan atas orang kulit putih terhadap pulit hitam. Serta ada “pemaksaan” citra buruk terhadap orang kulit hitam melalui literatur atau kisah-kisah yang terdapat di majalah. Ada Supremasi dimana orang kulit merasa lebih unggul. Supremasi ini ingin dihilangkan oleh Fanon dan berusaha untuk meningkatkan kesamaan derajat bagi setiap manusia, hal ini dapat diraih bila orang Hitam dapat mengangkat dirinya menjadi golongan orang terpelajar sehingga dapat memperoleh simbol status yang lebih baik.
Bila Sipivak mengambil pelajaran dari koloanialisasi negaranya India, yang dijajah oleh Inggris, maka Fanon mengalaminya sendiri sebagai orang kulit hitam berwarganegara Prancis yang pernah ditempatkan di negara jajahan Prancis, Ajazair. Mengenai White Supremacy, dialami juga oleh bangsa Indonesia ketika dijajah oleh Belanda. Indonesia (Hindia Belanda) sebagai negara jajahan kala itu, pada akhir tahun 1870an. Penduduknya, disebut kaum pribumi sering mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Hidup sebagai djongos, bahkan (sebelum perbudakan dihapus), mereka juga diperlakukan sebagai budak. Para perempuan pribumi banyak yang diambil sebagai gundik. Kisah ini sekedar menambah pengetahuan mengenai white supremacy di Indonesia :
Di koloni, setiap orang Eropa menaiki tangga status sosial begitu mereka menjejakkan kaki di daratan, Semuanya tergantung warna kulit dan hal itulah yang meningkatkan asal-usul dan kedudukan di masyarakat. Hal itu berlaku bagi setiap kulit putih. “Seorang kulit puti masuk ke sebuah toko, katakanlah toko milik seorang jutawana India. Sang jutawanpun membungkuk sedalam-dalamnya dihadapan tuan putih, yang mungkin hanya seorang pelaut berpakaian bagus, sorang penjahat atau seorang petualang, Meskipun demikian ia tetap seorang tuan putih”. Seorang yang berasal dari lapisan rendah masyarakat Eropa, kaum paria, langsung memperoleh kedudukan yang sangat berbeda di Hindia Belanda. Susunan kemasyarakatan langsung diputarbalikkan sepenuhnya. ‘Sekarang saya adalah sesorang, saya bagian dari ras yang memerintah dunia, tidak pernah terpikirkan sebelumnya dibenak saya bahwa saya bisa menikmati begitu banyak hak istimewa hanya karena berkulit putih”. Masyarakat kolonial Eropa yang terdiri dari pendatang baru pada tahun 1880 terdapat 19,5 juta penduduk pribumi sedangkan orang Eropa hanya berjumlah 50.000. mereka tersebar di kota-kota besar di Jawa, seperti Bataia, Bandung, Surakarta, Yogyakarta, Semarang dan Surabaya. Meski jumlahnya sedikit dan persebarannya terbatas, namun mereka merupakan kaum penguasa absolut.
Sumber :
- Gandhi, Leela. Postcolonial Theory: A Critical Introduction . Australia: Allen& Unwin, 1998 (Dari diktat bahan ajar semester genap tahun 2010/2011 Departemen Sosiologi FISIP UI).
2. Edward W. Said. Orientalisme. Menggugat Hegemoni Barat dan mendudukkan Timur sebagai Subjek. Pustaka Pelajar 2011.