Manuskrip Kesultanan Aceh Ada di Malaysia

1344566145556937281

Sultan Alaidin Muhammad Daudsyah (1874-1904)


“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya”


Di dunia, bangsa-bangsa yang telah maju, menjadikan sejarah sebagai bagian penting dalam perjalanan suatu bangsa. Sebagai contoh, AS menjadikan sejarah bangsanya sebagai monumen penting dalam suatu kompleks di Capitol Hill yang memberikan pemandangan berupa pusat bangunan sejarah terlengkap di dunia, mulai dari gedung perpustakaan, gedung sejarah bangsa, sejarah seni hingga ilmu pengetahuan dan teknologi. Di Jepang, orang Jepang menghargai sejarah bukan melalui monumen, tetapi lebih kepada museum yang mencatat dan menyimpan ribuan artifak dan manuskrip masa lalu hingga pencapaian-pencapaian keberhasilan anak bangsa. Seperti Museum Tokyo Aqualine yang terletak di pojok kompleks Tokyo Aqualine yang mewah dengan museum proses pembangunan mulai dari latar belakang, hingga tehnis pembangunan.

Begitu bermaknanya nilai sejarah bagi bangsa-bangsa besar tersebut di atas, sehingga penghargaan atas sejarah dilakukan secara bertanggung jawab tidak hanya bagi generasi sekarang namun juga generasi yang akan datang. Namun demikian, kondisi yang berbanding terbalik justru terjadi di negeri kita. Negeri indah dengan ratusan suku dan keragaman budaya ini seolah melupakan asal muasalnya. Setelah batik, Reog Ponorogo, Tari pendet Bali hingga tari Tor-Tor suku Mandailing di klaim oleh Malaysia, sekarang giliran mnuskrip dan artifak kuno Aceh yang dibeli diam-diam oleh pemerintah Malaysia. Setidaknya terdapat lebih dari 5000 manuskrip Aceh di Malaysia disimpan di perpustakaan Universitas Kebangsaan Malaysia. Sejarah Kesultanan Aceh antara abad 15 sampai dengan abad 19 hampir seluruhnya terdapat di Malaysia. Begitu hausnya Malaysia tentang masa-masa itu bisa jadi karena antara abad tersebut Malaysia berada di bawah kekuasaan Kesultanan Aceh.



13445662931087040104

Manuskrip Aceh di Universitas Kebangsaan Malaysia


Keprihatinan ini pernah dilaporkan oleh mantan Wakil Gubernur Aceh, Muhmmad Nazar dalam dengar pendapat bersama komisi X DPR RI setahun lalu. Namun para wakil rakyat itu tampaknya tidak menjadikan sejarah sebagai prioritas isu yang patut memperoleh perhatian lebih. Sementara itu, dari pihak birokrasi pemerintah Aceh sendiri lebih berfokus kepada persoalan-persoalan kekuasaan dan birokrasi tanpa meletakkan sejarah sebagai landasan/pijakan menuju pencapaian yang lebih baik bagi Aceh.



Sengaja dijual untuk pengaburan sejarah Aceh?




Ini mungkin sekedar kecurigaan saya semata, bahwa artifak dan manuskrip itu dijual untuk menghilangkan jejak sejarah sehingga sejarah Aceh berjalan sesuai dengan yang diceritakan oleh Hasan Tiro maupun Maik Mahmud. Perjalanan sejarah Aceh seolah berhenti dan hilang begitu saja sejak tahun 1976 dimana merupakan awal pemberontakan Atjeh Merdeka oleh alm. Hasan Tiro. Kesultanan Aceh sendiri dimulai pada tahun 1500 dengan kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah dan berakhir pada masa Sultan Daudsyah pada tahun 1904 setelah beliau ditangkap Belanda dan diasingkan ke Pulau Jawa. Perjalanan bangsa Aceh berhenti di situ, dan tiba-tiba muncul pada tahun 1976 Hasan Tiro. Perlawanan Hasan Tiro pun bermuara pada rapat Sigom donya di Stavanger Norwegia 12 Jui 2002 dimana saat itu adalah masa pengukuhan Hasan Tiro sebagai Wali Nanggroe dan Malik Mahmud sebagai Pemangku Wali. Menurut para keturunan Sultan Aceh maupun keturunan Wali Nanggroe, pada diskusi Panteue tahun 2010, yang dihadiri Tuanku Raja Yusuf bin Tuanku Raja Ibarim sebagai cucu Sultan Alaidin Muhammad Dausyah (Sultan Aceh yang terakhir), juga hadir cucu Wali Nangroe Tuanku Hasyim Banta Muda, menurut Adli Abdullah, bahwa dalam daftar dalam Piagam Batee Kureng, SAMA SEKALI TIDAK ADA NAMA Tgk. Hasan Tiro, kecuali Tengku Zainal Abidin Muhammad Tiro dan Tengku Umar Tiro yang meneruskan perjuangan setelah Sultan Aceh Alaidin Daudsyah tertangkap Belanda.


Banda Aceh, 2012

Rafli Hasan