Alumni IPB: hentikan diskriminasi peradilan Ricksy Prematuri

Jakarta (ANTARA News) - Diskriminasi peradilan terhadap Ricksy Prematuri, tersangka dugaan bioremediasi (pemulihan lahan tanah yang tercemar limbah migas secara biologis) fiktif pada lahan Chevron agar dihentikan karena perkara ini hanya memunculkan preseden hukum yang menafikan keadilan.

"Perkara ini juga memunculkan preseden hukum yang menafikan keadilan terdakwa lainnya serta mengganggu iklim investasi di kalangan industri migas Indonesia," ujar Juru Bicara Alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) Ahmad Mukhlis Yusuf kepada wartawan di Jakarta, Rabu.

Menurut Mukhlis, tersangka Ricksy dan empat tersangka lainnya pada Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat agar memperoleh hak hukum menghadirkan saksi ahli yang kompeten.

"Kami telah mencatatkan permohonan pemantauan atas proses peradilan yang sedang berjalan, agar majelis hakim bertindak adil dan tak diskriminatif. Pihak Ricksy hanya diberikan waktu seminggu untuk menghadirkan saksi ahli, sedangkan Jaksa memiliki 26 saksi ahli selama 3.5 bulan. Sedangkan 24 saksi ahli itu meringankan dan dua saksi ahli saja yang memberatkan," ujar dia yang didampingi Tito Pranolog dan Andi Irman.

Ia mengatakan perkara yang menjerat Ricksy Prematuri, dan beberapa orang lainnya, berkaitan dengan proyek bioremediasi, pemulihan lahan tanah yang tercemar limbah migas secara biologis, di lahan konsesi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) di sejumlah wilayah di Sumatera, dalam kurun waktu 2006--2012.

"Perkara ini mulai bergulir awal Maret 2012, saat Jampidsus mulai melakukan penyidikan. Hanya berselang beberapa hari saja pada 12 Maret 2012, Direktur Penyidikan sudah mengeluarkan Sprindik dengan tersangka Ricksy Prematuri dan General Manager Sumatera Light North Operation, Alexia Tirtawidjaja. Perkara ini kemudian menyeret tiga karyawan CPI lainnya-- Kukuh Kertasafari, Widodo dan Endah Rumbiyanti-- serta seorang kontraktor lain, Herlan bin Ompo, Direktur PT Sumigita Jaya. Hal itu telah menjadi fakta yang telah dipublikasikan pada persidangan," katanya.

Selanjutnya, Ricky Prematuri langsung ditahan, ketika sebagian tersangka lain bebas pada sidang pra peradilan.

Di sisi lain, kata dia, dalam fakta persidangan juga terungkap, Deputi IV Kementrian Lingkungan Hidup, Masnellyarti Hilman menyatakan substansi pekerjaan bioremediasi tersebut telah berjalan sesuai dengan PP No 18 Tahun 1999 dan Kepmen LH Nomor 128 Tahun 2003.

"Dari Kementrian Lingkungan Hidup saja menyatakan substansi pekerjaan bioremediasi tersebut telah berjalan sesuai dengan PP No 18 Tahun 1999 dan Kepmen LH Nomor 128 Tahun 2003," kata dia.

Ia menjelaskan PT CPI merupakan perusahaan eksplorasi minyak bumi yang terikat production sharing contract (PSC) dengan BP Migas (sekarang berubah menjadi SKK Migas). Salah satu kewajiban CPI sebagai perusahaan PSC adalah memulihkan lahan-lahan yang tercemar akibat operasi dan eksplorasi migas.

"CPI pun menggelar tender untuk program pemulihan lahan lewat metode bioremediasi di sejumlah lokasi yang menjadi wilayah kerja operasinya. Sepanjang tahun 2006--2012 ada puluhan tender yang digelar CPI. PT GPI salah satu pemenangnya dengan seleksi yang ketat dan transparan. Sebagai Direktur GPI yang bertanggungjawab dalam menangani proyek-proyek bioremediasi, Ricksy lah yang menandatangani kontrak kerja dengan CPI," kata dia.

Ia menduga laporan awal kasus ini berasal dari Edison Effendi, mantan dosen sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta, yang pernah beberapa kali mengikuti tender proyek bioremediasi di CPI tetapi kalah. Atas laporan tersebut Kejaksaan Agung menduga bioremediasi tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya alias fiktif.

Pada proses selanjutnya, kata dia, proyek bioremediasi tersebut dianggap merugikan keuangan negara. Dugaan atas kerugian negara didukung saksi ahli yang dihadirkan JPU dari BPKP pada salah satu persidangan.

Padahal dalam persidangan pra peradilan yang diajukan para terdakwa dari CPI, yang berlangsung pada November 2012, ahli keuangan negara Arifin P Surya Atmadja pada kesaksiannya di PN Jakarta Selatan menegaskan bahwa BPKP tidak berwenang menghitung kerugian negara. Hal ini karena sudah diatur dalam undang-undang bahwa yang berhak mengaudit adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sesuai UU No 15 tahun 2005, katanya.

Ahli keuangan tersebut menyebut BPKP tidak mempunyai kewenangan menghitung kerugian negara maka hasilnya pun menjadi tidak sah dan harus batal demi hukum. Bahkan hasil penghitungan tersebut tidak bisa dimasukkan sebagai alat bukti.

Menurut Mukhlis, Hingga saat ini, lanjutnya, jumlah penandatangan Petisi tersebut tercatat hingga hari Selasa tanggal 1 Mei 2013 adalah sebanyak 433 orang dari berbagai komponen masyarakat Indonesia, selain para alumni IPB.

Ia menegaskan upaya alumni IPB, hanya ingin menyamakan pemahaman kepada masyarakat Indonesia terkait proses peradilan ini yang diwarnai diskriminatif.

"Kami berharap demii keadilan masih berpihak kepadannya melalui peran Komisi Yudisial. Kami memohon kepada KY untuk memantau penegakkan hukum pada kasus ini agar berjalan dengan adil dan transparan," ujarnya.

Selain itu, ia memohon agar Ketua Majelis Hakim Tipikor, Dr. Sudharmawatiningsih, MH dapat memimpin persidangan dan memutus dengan lebih adil sesuai dengan suara nurani hakim sebagai wakil Tuhan di muka bumi. (*)


http://www.antaranews.com/berita/372496/alumni-ipb-hentikan-diskriminasi-peradilan-ricksy-prematuri