Jakarta (ANTARA News) - Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat menyebutkan bahwa jumlah pelaut Indonesia yang bekerja kapal berbendera asing, terbesar ketiga di dunia setelah Filipina dan India.
Saat menerima anugerah "KPI Award 2013" dari Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) di Jakarta, Jumat, Kepala BNP2TKI menyatakan pelaut Indonesia memiliki potensi untuk mengungguli para pelaut dari Filipina dan India.
"Apalagi nenek moyang kita dikenal sebagai pelaut ulung," katanya.
Ia menegaskan pelaut yang menemukan benua Australia bukan James Cook tetapi pelaut-pelaut dari Indonesia yang telah ratusan tahun sebelumnya telah menjelajahi ke benua itu, termasuk ke tempat-tempat lain.
Ia berharap pelaut Indonesia semakin berjaya.
Saat ini ada sekitar 250 ribu pelaut Indonesia yang bekerja di berbagai kapal berbendera asing dan sekitar 35 ribu merupakan anggota KPI.
Sementara itu, Presiden KPI Hanafi Rustandi mengatakan anugerah itu diberikan kepada Kepala BNP2TKI atas jasanya menerobos kebuntuan pengaturan para pelaut Indonesia yang bekerja di kapal berbendera asing.
Ia menyebutkan Kepala BNP2TKI telah mengeluarkan peraturan yang dapat menjawab keinginan dunia internasional dalam memberlakukan peraturan bagi para pelaut yang bekerja di kapal berbendera asing.
Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Kepala BNP2TKI Nomor : PER.13/KA/VII/2009 tentang Pendataan Pelaksana Penempatan Pelaut Indonesia di Luar Negeri, Peraturan Kepala BNP2TKI Nomor : PER.03/KA/I/2013 tentang Tata Cara Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Pelaut Perikanan di Kapal Berbendera Asing. Peraturan BNP2TKI Nomor: PER.12/KA/IV/2013 tentang Tata Cara Perekrutan Penempatan dan Perlindungan Pelaut di Kapal Berbendera Asing.
Penyerahan anugerah itu disampaikan Presiden KPI Hanafi Rustandi bersama Direktur International Labour Organisation (ILO) untuk Asia Pasifik Shigeru Wada.
Hanafi menambahkan Kepala BNP2TKI Moh Jumhur Hidayat merupakan sosok tokoh nasional yang berani menerobos tembok regulasi pelaut berskala internasional sehingga memberikan solusi penyelamatan nasib pelaut Indonesia.
Hanafi menceritakan selama puluhan tahun bekerja pada jasa tenaga kerja kapal berbendera asing dan berulang kali mengikuti pertemuan dengan berbagai instansi membahas nasib TKI pelaut tetapi tidak kunjung melahirkan peraturan.
"Kami selama lima tahun sudah 25 kali turut serta terlibat membuat draf peraturan tentang TKI pelaut. Tetapi tidak kunjung kelar menjadi sebuah produk peraturan atau perundang-undangan yang dapat menyelamatkan para TKI pelaut yang bekerja di dunia internasional atau pada kapal-kapal berbendera asing," katanya.
Padahal peraturan itu sangat diperlukan bagi TKI pelaut untuk jaminan keamanan dan perlindungan selama bekerja di kapal berbendara asing.
Ia mengatakan pada Agustus mendatang, seluruh perusahaan kapal internasional memberlakukan Maritime Labour Convention (MLC) tahun 2006.
Hingga Maret 2013 sudah 38 negara meratifikasi MLC itu seperti Singapura dan Filipina sedangkan Indonesia belum meratifikasi sehingga dikhawatirkan mengancam masa depan TKI pelaut.
Beberapa ketentuan MLC sebetulnya telah tercantum dalam regulasi nasional seperti dalam Kitab Undang Undang Hukum Dagang (Buku II) UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU 17/2008 tentang Pelayaran, PP Nomor 7/2000 tentang Kepelautan, PP Nomor 20/2010 tentang Angkutan di Perairan, dan PP Nomor 51/2012 tentang Peningkatan SDM Pelaut yang mensyaratkan kesejahteraan.
Ratifikasi MLC tetap dibutuhkan untuk memperkuat peraturan nasional dan memberikan perlindungan maksimal bagi pelaut Indonesia, katanya.(*)
http://www.antaranews.com/berita/371589/bnp2tki-tegaskan-pelaut-indonesia-terbesar-ketiga-di-dunia