Hukuman Ringan Komite Etik Buka Peluang Politik Transaksional - KOMPAS.com

JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Ketua Komisi III Al Muzzammil Yusuf mengatakan, kasus bocornya draf surat perintah dimulainya penyidikan (sprindik) Anas Urbaningrum membuktikan bahwa kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah digunakan secara tidak patut untuk kepentingan pembocor dan yang memesan bocoran tersebut. Menurutnya, hukuman rendah yang diberikan Komite Etik KPK terhadap pimpinan yang melanggar etika bisa kembali menjadi politik transaksional di masa mendatang.

"Jika sanksi tidak berimbang, maka ke depan, akan sangat berpotensi dilanggar lagi karena sanksinya kecil dan bukan pidana. Hukuman yang rendah seperti ini ke depan bisa dijadikan ajang transaksional kasus korupsi," ujar Muzzamil, dalam siaran persnya, Kamis (4/4/2013).

Ia menduga, kasus ini bisa saja ada pesanan untuk kepentingan politik tertentu. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa KPK terdiri dari orang-orang yang memiliki kepentingan sendiri. Menurut Muzzammil, jika ada lembaga negara dengan kewenangan yang sangat besar (super body), seharusnya sanksi yang diberikan kepada pelanggar kode etik juga setimpal dan lebih berat.

"Jadi, sanksinya tidak boleh sama dengan lembaga dengan kewenangan yang lebih kecil dan terbatas," ujar politisi PKS ini.

Untuk itu, kata Muzzammil, perlu adanya aturan yang tegas terhadap pihak tertentu yang membocorkan proses penyidikan yang terjadi di lembaga penegak hukum baik di KPK, kejaksaan, dan kepolisian.  

"Peluang memasukkan usulan ini ada di revisi RUU KUHAP yang saat ini sedang di bahas di DPR. Jika perlu, ada sanksi pemecatan dan pemidanaan bagi siapa pun yang membocorkan ke publik terkait proses penyidikan, termasuk di dalamnya hasil rekaman dan transkrip penyadapan," paparnya.  

Selain itu, politisi PKS asal Lampung ini menyarankan agar Komite Etik KPK sebaiknya bersifat permanen, bukan lembaga ad hoc seperti sekarang.  

"Sehingga bisa melekat setiap saat mengawasi kinerja KPK. Karena pembocoran bukan hanya sprindik, hasil sadapan/transkrip sadapan juga terbukti dibocorkan dengan aneka motif yang berpotensi menghambat kerja pemberantasan korupsi. Akhirnya, muruah KPK menurun di hadapan publik," katanya.

Jika Komite Etik KPK permanen, sebut Muzzammil, anggotanya harus diambil dari tokoh-tokoh yang berintegritas, independen, berani, tegas, dan pekerja cepat.

"Jadi, KPK bukan hanya cepat, semangat, dan keras kepada tersangka koruptor, tapi juga cepat, semangat, dan keras kepada diri mereka sendiri. Itu baru adil," ucapnya.

Muzzammil berharap ke depan KPK betul-betul bisa menegakkan keadilan dan kepastian hukum dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. "Jauh dari campur tangan kepentingan politik dan mafia peradilan," katanya.

Seperti diberitakan, Komite Etik menyampaikan hasil penyelidikannya dalam suatu rapat terbuka yang dihadiri seluruh pegawai dan pimpinan KPK, Rabu siang kemarin. Hasilnya, Komite Etik menemukan Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja diduga melakukan pelangaran kode etik terkait pembocoran draf sprindik Anas Urbaningrum. Abraham mendapat sanksi tertulis lantaran dianggap cara berkomunikasinya kepada media massa yang melanggar etika dari seorang pimpinan KPK.

Sementara Adnan hanya diberikan teguran lisan. Komite Etik KPK juga merekomendasikan kepada Majelis Pertimbangan Kepegawaian KPK untuk memberikan sanksi kepada sekretaris Abraham, yakni Wiwin Suwandi, untuk memberikan sanksi. Wiwin pun akhirnya dipecat karena dianggap sebagai pelaku utama dari pembocoran sprindik Anas. Ketua Komisi Etik KPK Anies Baswedan mengungkapkan ada dua hal yang dibocorkan terkait draf sprindik Anas ini. Pertama, kebocoran informasi. Kedua, kebocoran dokumen draf sprindik itu sendiri. Adapun kebocoran dokumen draf tersebut berpotensi menjadi pelanggaran pidana mengingat dokumen yang bocor, termasuk dokumen rahasia negara.  

Anies juga mengatakan, motif di balik bocornya sprindik dan informasi soal penetapan Anas sebagai tersangka ini bukanlah motif politik. Namun, dia enggan menjelaskan lebih jauh mengenai motif di balik kebocoran tersebut. Komite Etik dibentuk setelah KPK menggelar rapat pimpinan yang menerima hasil penelusuran tim investigasi yang dibentuk Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat KPK. Hasil investigasi tim menyimpulkan bahwa draf sprindik atas nama Anas yang bocor merupakan dokumen asli keluaran KPK.

Ikuti berita terkait dalam topik:
Skandal Sprindik Anas Urbaningrum

Editor :

Inggried Dwi Wedhaswary


source : http://nasional.kompas.com/read/2013/04/04/08432565/Hukuman.Ringan.Komite.Etik.Buka.Peluang.Politik.Transaksional