Ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, menyatakan : "Besarnya iuran jaminan kesehatan untuk peserta penerima upah ditentukan berdasarkan persentase dari upah sampai batas tertentu, yang secara bertahap ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja".
Pengaturan iuran (premi) dalam jaminan kesehatan yang sebelumnya (baca : sekarang) masih menjadi tanggung-jawab pengusaha untuk mengiur sepenuhnya, akan menjadi tanggungan bersama pemberi kerja dan tenaga kerja yang relatif mempunyai kedudukan yang lebih lemah. Seharusnya, pengusaha tetap memikul tanggung jawab utama, dan secara moral pengusaha mempunyai kewajiban untuk meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja, demi terwujudnya perlindungan tenaga kerja dengan baik karena tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan dengan penggunaan teknologi di berbagai sektor industri dan kegiatan usaha, yang dapat mengakibatkan semakin tingginya resiko yang mengancam keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan tenaga kerja.
Kewajiban pekerja/buruh untuk ikut membayar iuran jaminan kesehatan, akan sangat memberatkan biaya kehidupan pekerja/buruh, karena dengan pemberian beban iuran (premi) jaminan kesehatan kepada tenaga kerja, akan berpotensi mengurangi pendapatan pekerja, yang diantaranya masih banyak pekerja/buruh penerima upah minimum yang hanya terdiri dari fasilitas kesehatan dalam komponen tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak, yang hanya terdiri dari sarana kesehatan berupa pasta dan sikat gigi, sabun mandi, shampoo, pembalut dan alat cukur, deodorant, obat anti nyamuk, serta potong rambut dan sisir, sehingga perlindungan bagi tenaga kerja yang pendapatannya hanya sebesar upah minimum atau ditambah dengan kerja lembur (extra) yang tidak banyak, mempunyai kedudukan yang lebih lemah dan masih membutuhkan aturan tanggung jawab iuran jaminan kesehatan sepenuhnya oleh pengusaha.
Sesungguhnya pula, kewajiban pengusaha-lah untuk mengadakan pelayanan dan pemeliharaan kesehatan tenaga kerjanya yang meliputi upaya peningkatan (promotif), pencegahan (preventif), penyembuhan (kuratif), dan pemulihan (rehabilitatif), dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja dalam pelaksanaan tugas sebaik-baiknya, yang berpotensi dapat meningkatkan derajat serta martabat tenaga kerja dan keluarganya secara optimal, sebagai potensi yang produktif bagi pembangunan, yang juga sebagai perwujudan suatu masyarakat yang sejahtera, adil, makmur dan merata baik materiil maupun spirituil, dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya sebagai bagian dari pembangunan nasional yang merupakan pengamalan Pancasila.
Jika membandingkan dengan ketentuan perpajakan, bagi pekerja yang berpenghasilan dibawah sebesar Rp. 24,3 juta pertahun atau setidak-tidaknya Rp. 2 juta perbulan, tidak diwajibkan membayar pajak terhadap negara, karena besaran penghasilan tersebut masih belum mampu mencukupi kebutuhan hidup pekerja itu sendiri dan keluarganya.
Sehingga, atas dasar keadilan dan prinsip gotong-royong dalam UU SJSN, dan pilihan batasan sebagaimana yang ditetapkan oleh Pemerintah dalam ketentuan Pasal 9 ayat (4) PP No. 53/2012, maka seharusnya Pasal 27 ayat (1) UU SJSN sepanjang frasa "batas tertentu" haruslah dimaknai menjadi batas besaran 2 (dua) kali pendapatan tidak kena pajak, agar pekerja/buruh penerima upah minimum diberikan keleluasaan untuk mencukupi kebutuhan hidup dan keluarganya, dan membebankan iuran kesehatan kepada pemberi kerja yang secara ekonomi mampu menanggungnya, dan kepada pekerja/buruh yang berpenghasilan diatas besaran 2 (dua) kali pendapatan tidak kena pajak atau yang berpenghasilan Rp. 48,6 juta pertahun atau Rp. 4 juta perbulan, sehingga terwujud sistem jaminan sosial yang berprinsip kegotong-royongan.
Semoga Mahkamah Konstitusi dapat mengabulkan permohonan perkara No. 90/PUU-X/2012 yang diajukan oleh Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia.
http://hukum.kompasiana.com/2013/04/06/iuran-jaminan-sosial-semoga-mk-berpihak-ke-buruh-yang-tidak-mampu-543577.html